Mendem Sawa

Mendem (atau Mendhem Sawa; "Mapendem ring prthiwi"; Lontar Tattwa Loka Kreti) adalah upacara penguburan atau pemakaman jenazah yang di Bali disebutkan penguburan ini boleh dilakukan sebagaimana disebutkan yaitu :
  • Pada saat pementasan calonarang, mendem watang dari sang tapakan dilaksanakan ketika tengah malam dan kembali bangkit setelah dikubur 4 jam lebih.
  • Dalam lontar Yama Tattwa, penguburan jenazah dapat dilakukan yaitu : 
    • Bila dunia dalam keadaan kacau seperti wabah penyakit sedang berjangkit, kedatangan musuh, maupun peperangan. 
    • Bila dalam keadaan ini, sebaiknya setiap orang yang meninggal segera dikubur, sesuai dengan tata cara penguburan mayat yang mati secara wajar. 
    • Apabila batas waktu dikubur telah selesai baru dibuatkan upacara ngaben
      • jika tidak, maka roh orang yang meninggal dunia itu akan menjadi Dete, Bhuta, sejenis makhluk halus lainnya.
  • Namun apabila masih belum ada kesempatan untuk diabenkan (karena sesuatu hal seperti adanya karya agung ataupun berkaitan dengan dresta, awig-awig desa adat setempat dll) maka disebutkan, 

Namun perlu diingatkan bahwa pada prinsipnya setiap orang mati harus segera dilaksanakan upacara ngaben yang dalam kutipan Makalah Upacara Ngaben di Bali, disebutkan 
bagi mereka yang masih memerlukan waktu menunggu, untuk sementara maka sawa (jenasah) itu harus di pendhem (dikubur) dan dititipkan pada Dewi penghuluning Setra yang dititip pada Dewi Durga di Pura Prajapati.
Upacara kematian dengan cara mendem / menanam sawa ini bagi orang Bali Mula disebutkan dahulu merupakan tradisi sekte waisnawa yang disebut dengan beya tanem.

Berdasarkan hasil-hasil penyelidikan yang telah dilakukan BaliPost dalam Sistem Penguburan Masyarakat Megalitik di Bali disebutkan bahwa :
Diduga sistem penguburan itu berkembang pesat pada masa perundangan, yaitu ketika zaman prasejarah akan berakhir; 
    • Sekitar permulaan atau sesudah tarikh Masehi, atau sekitar 2000 tahun silam. 
    • Pada masa perundagian di Indonesia pada umumnya dan di Bali khususnya. 
Tradisi megalitik mengalami perkembangan yang sangat pesat, bahkan hampir ke seluruh dunia.

Sistem penguburan yang amat beragam itu, ada yang menggunakan bermacam-macam wadah kubur -- seperti 
  • tempayan tanah liat (Gilimanuk, Jembrana), sarkofagus (di seluruh Bali) dan nekara perunggu (Manikliyu, Bangli) -- 
  • serta ada juga sistem penguburan yang tidak menggunakan wadah (kubur terbuka atau open burial) -- seperti :
    • di desa Kutuh (Ubud, Gianyar), Gilimanuk dan Manikliyu.
    • Upacara Adat Ngaben di Desa Trunyan Bali, hanya diletakkan di atas tanah pekuburan.
Sistem penguburan beragam ini sebenrnya sebagai wujud dari sistem religi atau sistem kepercayaan kepada arwah leluhur, yang jadi landasan kehidupan masyarakat pada waktu itu. 
  • Kepercayaan ini, selain bersifat universal, 
  • juga merupakan ciri yang terpenting dari masyarakat megalitik yang menganggap arwah leluhur itu punya kekuatan magis yang dapat mempengaruhi kehidupan keluarga atau masyarakat yang masih hidup. Sebagai karya budaya yang signifikan, 
***