Nekara adalah kreasi seni bersifat magis yang konon dijadikan media untuk memohon hujan yang keberadaanya sampai saat ini tersimpan di Pura Penataran Sasih di desa Pejeng Bali.
Nekara dengan banyak mengandung ragam motif hias yang banyak mengandung makna tersendiri tersebut merupakan hasil teknologi logam perunggu yang mencapai puncaknya pada akhir zaman prasejarah, yaitu pada masa perundagian Bangsa Austronesia sekitar 2000 tahun sebelum Masehi.
Nekara perunggu yang masih tersimpan di Pura Penataran Sasih ini berukuran 186,5
cm yang dalam sejarah bulan pejeng sebagaimana diuraikan oleh para ahli arkeologi, keberadaan nekara ini jauh
sebelum pengaruh Hindu masuk di Bali
Pada saat piodalan, nekara yang ada di Pura Penataran Sasih ini juga berfungsi sebagai gendrang dalam upacara yang dipukul dengan aturan religius sebagai sarana pemujaan agar hujan jatuh pada musimnya yang tepat.
Selain nekara ini memiliki hiasan
kedok muka, juga terdapat hiasan binatang dan
matahari dengan delapan sinar.
Di samping itu hiasan nekara ada motif
lajur-lajur lingkaran terpusat.
Pada badan nekara terdapat gambar delapan kepala orang menghadap ke delapan arah. Karena dalam kitab suci agama Hindu pun disebutkan keberadaan hujan sebagai sumber alam yang paling utama.
Secara lebih mendetail lagi, Nekara yang ada di Pura Penataran Sasih ini, dari keterangan gambar yang dielsakan oleh Linggar Saputra Wayan di Fb disebutkan bahwa nekara ini mengandung nilai simbolis magis yang tinggi.
Pada nekara tersebut terdapat hiasan kedok muka yang disusun sepasang-sepasang dengan mata bulat membelalak, telinganya yang panjang, dengan anting-antingnya yang dibuat dari uang kepeng, dan hidungnya yang berbentuk segitiga. Bulan Pejeng ini dianggap sebagai subagnya Kebo Iwa.
Nekara perunggu ini merupakan hasil teknologi logam yang mencapai puncaknya pada akhir zaman prasejarah, yaitu pada masa perundagian, sekitar 2000 tahun silam. Jauh sebelum pengaruh Hindu masuk di Bali.Para ahli arkeologi berpendapat, hiasan kedok muka ini berfungsi simbolis magis atau religius magis, yaitu sebagai lambang leluhur yang arwahnya berdiam di puncak gunung atau bukit dan mempunyai kekuatan magis yang dapat menentukan nasib kaum kerabat atau masyarakat yang ditinggalkannya.
Hiasan kedok muka seperti itu juga terdapat pula pada sarkofagus (peti mayat) yang tersebar di seluruh Bali, dengan berbagai gaya dan mempunyai fungsi yang sama dengan kedok muka pada “Bulan Pejeng”. Mungkin juga hiasan ini mempunyai fungsi estetik dekoratif.
Di sebuah pura di Desa Manuaba ditemukan lima buah fragmen cetakan batu untuk nekara tipe Pejeng, maka timbul dugaan bahwa nekara Pejeng merupakan hasil industri logam lokal yang telah maju. Perkiraan ini di dukung kenyataan bahwa cetakan batu dari Manuaba memakai hiasan kedok muka yang memperlihatkan persamaan dengan kedok muka pada nekara Pejeng, walaupun mempunyai ukuran yang lebih kecil.
Nekara yang ada di Pura Penataran Sasih ini sebagai gendrang upacara yang dipukul dengan aturan religius sebagai sarana pemujaan agar hujan jatuh pada musimnya yang tepat.
- Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan hiasan nekara dengan adanya binatang dan matahari dengan delapan sinar.
- Di samping itu hiasan nekara ada motif lajur-lajur lingkaran terpusat. Pada badan nekara terdapat gambar delapan kepala orang menghadap ke delapan arah.
- Karena dalam kitab suci agama Hindu pun keberadaan hujan sebagai sumber alam yang paling utama.
Dalam perkembangan selanjutnya, A.J. Bernet Kempers menyatakan bahwa Pura Penataran Sasih ini menjadi pura penataran sabagai pusat kerajaan di Bali yang berstana di Pejeng. Sedangkan sebagai pusat pura gunungnya yaitu Pura Puncak Penulisan di Kintamani.
Dalam agama Hindu diharapkan adanya perpaduan antara unsur kejiwaan yang disebut Purusa dengan unsur kebendaan yang disebut Pradana.
Dua unsur yang berpadu itu akan mendatangkan kesuburan dan kemakmuran.
Di Pura Penataran Sasih ini terdapat beberapa peninggalan purbakala, baik yang berasal dari tahun 300 SM maupun abad X Masehi dan pada abad XIV Masehi. Nekara yang biasa disebut Bulan Pejeng oleh masyarakat setempat ini merupakan peninggalan pada tahun 300 SM.
Sedangkan berdasar pecahan prasasti yang dapaat di jumpai di pura ini menunjukan bahwa prasasti tersebut sudah ada sejak abad X Masehi.
Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan Huruf / bahasa kawi dan bahasa sansekerta yang digunakan oleh prasasti tersebut.
***