Pada tradisi megalitik di Bali dalam dinas kebudayaan disebutkan pola hias kedok muka atau muka manusia telah dipahatkan pada tonjolan beberapa buah sarkofagus tertentu.
Tonjolan-tonjolan yang berhias kedok muka ini, tidak semata-mata hanya berfungsi dekoratif atau estetis, tetapi juga berfungsi magis-simbolis sebagai lambang yang dipandang mempunyai kekutan gaib, yang mampu melindungi arwah orang yang meninggal, dan dikuburkan dalam sarkofagus itu.
Kecuali yang berhias kedok, ada juga tonjolan yang berbentuk geometris, yang diduga berfungsi praktis yaitu untuk mengikatkan tali pada waktu sarkofagus itu diangkut ke tempat pemakaman.
Dalam sebuah kajian kemendikbud, pola-pola hias kedok muka tersebut kadang-kadang dikatakan di temukan pada benda-benda pusaka seperti pada sarung keris, sarung tombak, "cerana" pemujaan di salah satu kediaman raja, dan pada benda-benda lain.
Pola-pola hies topeng (kedok) pada masa hindu biasanya dipahatkan pada bagian etas pintu-pintu rnasuk candi dan urnumnya dipahatkan tanpa rehang bawah.
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat diketahui bahwa pola hies topeng rnemang memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat dan berkaitan dengan tujuan-tujuan yang bersifat
sakral.
Pola-pola hias ini digambarkan dengan cat-cat yang berwarna hitam dan merah yang mernang biasa
dipakai untuk memberi warna pada benda-benda yang bersifat religius (sakral).
Mengenai motif-motif topeng pada gua-gua karang di Kepulauan Pasifik ini masih belum diketahui rnaknanya.
***
Dan sebagaimana ditambahkan dalam artikel-artikel Hindu Bali dalam beberapa maknanya disebutkan penggunaan warna merah, hitam dan putih seperti halnya menyiratkan siklus tri kona dalam hidup ini.
- Merah melambangkan Dewa Brahma sebagai pencipta.
- Hitam melambangkan Dewa Wisnu sebagai pemelihara.
- Putih melambangkan kesucian dewanya Sanghyang Iswara atau Dewa Siwa sebebagi pelebur.
***