Siwa Buddha

Dahulu masyarakat Bali Kuno merupakan pemeluk dari Siwa Buddha yang ajarannya berhubungan dengan :
Ketuhanan untuk mengetahui hakekat kebenaran yang sejati.
Budha itu adalah keheningan hati, jika hati hening, Siwa pasti mendekat. 
Sebab sesungguhnya Dia tidak ke mana-mana, Dia tetap di dalam diri ini. Menjadi Fajar untuk semua.
Sejatinya Siwa-Buddha merupakan cerminan karakter dalam diri manusia yaitu feminim dan maskulin yang lebih lanjut dalam sebuah Thesis kalepasan dalam Kakawin Panca Dharma, Pps Unud disebutkan bahwa :
  • Siwa-Buddha dipahami sebagai evolusi sinkritisme antara dua ajaran besar yang pernah berkembang di Nusantara. 
  • Siwa-Buddha bukan agama barat atau agama timur, 
    • melainkan agama tengah yang melebur bersama tradisi agama Hindu di Bali. 
Dalam makalah yang berjudul “Siwa-Buddha: Realitasnya dalam Masyarakat Hindu di Bali”, yang makalahnya dibawakan dalam Seminar Mandala Buddhisme Esoterik (Tantra; Vajrayana): Benang Merah Kesamaan Budaya Jepang dan Indonesia, menyatakan, bahwa
Sinkritisme Siwa-Buddha di Bali sudah ada sejak zaman Bali Kuno
Kemudian sekitar tahun caka 910 oleh Mpu Kuturan, kedua ajaran tersebut dilebur (diharmoniskan) menjadi satu ke dalam Hindu Dharma yang ada sampai sekarang ini.

Dalam sejarahnya keagamaan orang Bali sama dengan orang Tibet.

Sebelum masuk Buddha, orang Tibet memiliki agama Bon. Agama Buddha dan Bon, akhirnya menyatu seperti Siwa-Buddha di Bali.

Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Raja suami istri Gunaprya Dharmapatni / Udayana Warmadewa yang bertahta di Bali pada tahun caka 910 sampai dengan 988 atau tahun 988M sampai dengan tahun 1011M. 

Pada masa itu penduduk pulau Bali adalah mayoritas orang Bali Aga (orang Bali asli, selanjutnya pendatang dari Jawa disebut orang Bali, jadi ada orang Bali Aga dan Bali) yang sudah sejak lama memeluk dan menganut ajaran agama orang-orang Hindu dari berbagai “paksa”(sekte). Yang terbanyak adalah dari sekte Indra disampung yang menganut sekte Bayu, Khala, Brahma, Wisnu, dan Syambhu

Dengan demikian di Bali terdapat 6 sekte yang dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan-perbedaan satu dengan yang lainnya. Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte dengan sekte yang lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa didalam tubuh masyarakat Bali Aga.

Inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat yang membawa dampak negative pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Akibat yang bersifat negative ini bukan saja menimpa desa bersangkutan, tetapi meluas sampai pada pemerintahan kerajaan sehingga roda pemerintahan menjadi kurang lancar dan terganggu. 

Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya Dharmapatni / Udayana Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari Jawa Timur yang oleh Gunaprya Dharmapatni sudah dikenal sejak dahulu semasih beliau ada di Jawa Timur. Oleh karena itu Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa bersekepatan untuk mendatangkan 4 orang Brahmana bersaudara yaitu:
  1. Mpu Semeru, dari sekte Ciwa tiba di Bali pada hari jumat Kliwon, wuku Pujut, bertepatan dengan hari Purnamaning Kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka yaitu tahun caka 921 (999M) lalu berparhyangan di Besakih.
  2. Mpu Ghana, penganut aliran Gnanapatya tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku Kuningan tanggal 7 tahun caka 922 (1000M), lalu berparhyangan di Gelgel
  3. Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku pahang, maduraksa (tanggal ping 6), candra sengkala agni suku babahan atau tahun caka 923 (1001M), selanjutnya berparhyangan di Cilayukti (Padang)
  4. Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan, bertepatan sasih kadasa, prati padha cukla (tanggal 1), candra sengkala muka dikwitangcu (tahun caka 928 atau 1006M) lalu berparhyangan di bukit Bisbis (Lempuyang)
Keempat orang Brahmana tersebut berasal dari Jawa Timur dengan bersaudara 5 orang, sedangkan adiknya yang bungsu bernama Mpu Bharadah ditinggalkan di Jawa Timur dengan berparhyangan di Lemahtulis, Pajarakan.

Kelima orang Brahmana ini lazim disebut Panca Pandita atau “Panca Tirtha” karena beliau telah melaksanakan upacara “dwijati” yaitu menjalankan dharma “Kabrahmanan”.
  • Mpu Semeru yang berparhyangan di Besakih
  • Mpu Ghana yang berparhyangan di Gelgel, karena beliau “Nyukla Brahmacari” maka keduanya tidak mengadakan keturunan.
  • Mpu Kuturan yang berparhyangan di silayukti sebagai “Swala Brahmacari” mempunyai seorang putri bernama Dyah Ratna Manggali, yang ditinggalkan di Jawa bersama ibunya (Calon Arang, aku tambahin) yang kemudian kawin dengan salah satu putera Mpu Bharadah yaitu Mpu Bahula.
Di Bali, Salah satu nama Tuhan adalah Sang Hyang Mbang atau Mahasunyi yang dalam agama Buddha ada istilah Sunyata. Tahun baru (warsa anyar) di Bali dirayakan dengan sunyi (sunyata).

Di Bali Selatan, ada Pura Sakenan yang puncak piodalan jatuh pada Hari Raya Kuningan. Sementara Sakenan berasal dari kata Sakyamuni. Sakyamuni nama asli Sidartha Gautama.
Mpu Kuturan sendiri adalah pendeta Buddha yang peninggalannya adalah Meru, hasil modifikasi Pagoda umat Buddha.
Pada Abad ke-16, Bali mengalami masa kejayaan di bawah Raja Dalem Waturenggong. Dalam masa kerajaan itu ada penasihat spiritual yaitu pendeta Siwa-Buddha.
..... Dikutip dalam dokumen Siwa - Buddha Dalam Forum Diskusi Jaringan Hindu Nusantara. 

Dalam konsep Lalita Hita Karana yang berdasarkan konsep ajaran Siwa-Budha disebutkan bahwa :
sebagai kesepakatan yang mewadahi semua aliran dan sekta yang ada di Bali.

Siwa Tattwa di Bali, menggunakan beberapa sumber Lontar seperti : Bhuwana Kosa, Wrhaspati Tattwa, Ganapati Tattwa.....