Agnihotra

Agnihotra adalah pemujaan atau persembahan kepada Hyang Agni yang dalam Agnihotra atau "Agni Hotra" dalam acara agama sebagaimana disebutkan Agastya Parwa yaitu persembahan berupa minyak dari biji-bijian (kranatila), madu kayu cendana (sri wrksa) mentega, empehan susu dan sebagainya seperti digambarkan dalam Kakawin Ramayana I.24-27. 
Jadi  pada prinsipnya semula pengertian yajna berupa pemujaan pada Hyang Agni dengan minyak dan susu sehingga dengan yajna itu dipercaya menimbulkan hujan, dari hujan timbul makanan, dari makanan lahir mahkluk hidup. 
Sedang yajna lahir dari karma (Bhagawadgita III.14), yajna termasuk karma kanda atau karma sanyasa atau prawrti yaitu jalan perbuatan.
Pola pikir manusia semakin luas maka pengertian yajna kemudian tidak hanya pemujaan pada Agni tapi juga pada Aspek lain. 
Agni berkedudukan sebagai perantara manusia berhubungan dengan Tuhan dan dengan Dewa-Dewa. Jadi kemudian Yajna berarti segala bentuk pemujaan dan persembahan dan pengorbanan yang tulus ikhlas yang timbul dari hati yang suci demi maksud yang mulia dan luhur.
Diantara berbagai Weda, Rig Weda secara menyeluruh memuja-muji para dewata. Namun dari permulaan (Upakarma) sampai ke akhir (Upasamhara) karya ini berbicara tentang Hyang Agni, jadi banyak pemuja kemudian menghubungkannya hal tersebut sebagai pemujaan api kepada Hyang Agni (Agni-Hotra).

Padahal yang dimaksud sebenarnya adalah cahaya Bhagavatam (Jyotir,Tat Savitur) yang hadir di dalam kesadaran seorang manusia (Atma Chaitanyam).
Sukta terakhir Rig Weda ke Agni bersifat amat universal : “Semoga setiap insan berfikir dan bersatu dalam suatu pemikiran. Semoga semua hati bersatu dalam bentuk cinta kasih. Semoga tujuan semua manusia selaras hendaknya. Semoga semua makhluk berbahagia dalam suatu kesatuan itikad.

Sejarah pelaksanaan upacara agnihotra ini dalam Spiritual-AgamaHindu, khususnya pada sarana dan prosesi Agni Hotra I disebutkan bahwa berdasarkan beberapa temuan peninggalan purbakala (arkeologi) dan tradisi yang hidup dalam masyarakat Bali, yang mana beberapa peninggalan purbakala disebutkan sebagai berikut :
  • Berupa lobang api (Yajñaśala atau Vedi) tempat dilaksanakan-nya ūpacāra Agnihotra. Tempat atau
    lobang api ini dapat pula kita saksikan di salah satu Gua Pura Gunung Kawi yang diyakini oleh penduduk sebagai Geria Brahmana terdapat sebuah lobang dalam sebuah altar di tengah-tengah gua, yang rupanya dikelilingi duduk oleh pelaksana ūpacāra Agnihotra.
      • Peninggalan berupa lobang tempat api unggun itu adalah Yajñakunda (Yajñaśala) dikuatkan pula dengan adanya lobang api di bagian atap 
        • sebagai ventilasi keluarnya asap dari tempat dilangsungkannya ūpacāra Agnihotra. 
    • Nama-nama seperti Keren, Kehen, Hyang Api Hyang Agni (Hyang geni) dan Śala menunjukkan tempat yang berkaitan dengan dilangsungkannya ūpacāra Agnihotra.
    • Upacāra Agnihotra terakhir terjadi pada masa kerajaan Klungkung di bawah raja Dalem Waturenggong di Istana raja Gelgel dengan purohita Mpu Astapaka bersama Danghyang Dwijendra.
      • Saat itu, ketika pelaksanaan ūpacāra Agnihotra berlangsung, kobaran api menjadi begitu besar dan meninggi hingga melalap atap panggung tempat ūpacāra sehingga mengakibatkan kebakaran.
      • Maka sejak itu raja memerintahkan untuk melaksanakan ūpacāra Agnihotra yang kecil dan sederhana saja yang kemudian terus mengerdil menjadi dengan menggunakan pasepan (padupan) saja.
      • Sehingga lama kelamaan, tradisi melaksanakan ūpacāra Agnihotra itupun hanya dikenal oleh para pandita saja, bahkan sesudahnya karena proses waktu, banyak dari pemangku yang bahkan tidak mengetahui asal mula dari penggunaan pasepan itu sehingga nyaris bahwa ritual agni hotra atau pemujaan kepada dewa agni ini semakin memudar dan tak dikenal di Bali. 
      • Sedangkan daksina juga diperlukan dalam prosesi persembahan Agni Hotra yang dipimpin oleh sang dwijati, pemangku dll.
        ***