Wangsa adalah hierarki dari asal - usul keturunan dan leluhur yaitu suatu sistem yang dibuat untuk membangun keakraban menjalin persaudaraan dan kerukunan famili.
Di Bali, satu klan atau satu wangsa sebagai jalinan ikatan pasemetonan kekeluargaan dan untuk pemujaan umat secara bersama disebut Pura Kawitan dimana keberadaan sistem wangsa tersebut dalam masyarakat khususnya Hindu di Bali yang sebagaimana disebutkan Pura Pedharman yang dalam pusaka guru disebutkan bertujuan untuk menguatkan sistem pemujaan leluhur sebagai tangga untuk memuja Tuhan.
Karena pemujaan sebelumnya akan menguatkan pemujaan selanjutnya. Demikian dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra sebagai kelompok kedua secara hierarkis sesudah kelompok Weda Sruti sebagai sabda atau wahyu Tuhan secara langsung.
Ini artinya pemujaan leluhur itu untuk menguatkan pemujaan pada Tuhan. Asal jangan berhenti pada pemujaan leluhur saja.
Itu artinya, sistem Wangsa dalam masyarakat Bali bukanlah untuk menentukan stratifikasi sosial dengan paradigma tinggi-rendah (tidak setara antar wangsa yang satu dengan wangsa yang lainnya). Wangsa itu tidak menentukan seseorang itu brahmana, ksatria, waisya maupun sudra.
Sistem Wangsa bertujuan untuk membangun keakraban atau kerukunan famili, bukan untuk menentukan kasta atau varna seseorang.
Karena umat dalam satu wangsa itu ada bermacam-macam profesinya. Ada sebagai pandita atau pinandita, ada sebagai birokrat, tentara atau politisi, ada sebagai pengusaha dan ada juga sebagai petani atau buruh.
Seperti halnya di jaman dahulu juga diceritakan, ada sebuah kisah seorang raja besar dari Chandra Wangsa keturunan Yayati, menikahi Sakuntala dari pertapaan Bagawan Kanwa,
kemudian beliau menurunkan Sang Bharata yang sewaktu kecil bernama sarwadamana dan akhirnya menjadi raja legendaris.
Sedangkan di Pulau Bali sendiri dalam kronologi sejarahnya pada abad XI, sejak pemerintahan Raja Ugrasena dari wangsa Warmadewa yang dahulu sebagai raja dan penguasa Bali Kuno disebutkan bahwa penataan desa dengan sistem banjar sudah dimulai, masyarakat diberikan kesempatan berkembang melalui mekanisme hubungan sosial yang berpusat pada banjar masing-masing.
Dan mengutip dari sejarah dan pantangan Pura Lempuyang dalam sejumlah sumber kuno, Jero Mangku Gede Wangi, pemangku di pura itu mengatakan,
Dan mengutip dari sejarah dan pantangan Pura Lempuyang dalam sejumlah sumber kuno, Jero Mangku Gede Wangi, pemangku di pura itu mengatakan,
Orang Bali apapun wangsanya tak boleh melupakan pura ini.
Paling tidak sekali waktu menyempatkan diri tangkil sembahyang ke pura ini.Sebab, jika tidak pernah atau lupa memuja Tuhan yang manifestasinya berstana di pura ini, selama hidup bias tak pernah menemukan kebahagiaan, seringkali cekcok dengan keluarga atau dengan masyarakat dan bahkan pendek umur.Kewajiban masyarakat Bali untuk memuja Batara Hyang Gni Jaya di Lempuyang Luhur disebutkan dalam bhisama Hyang Gni Jaya yang tertulis dalam Lontar Brahmanda Purana sebagai berikut:
Wastu kita wong Bali, yan kita lali ring kahyangan, tan bakti kita ngedasa temuang sapisan, ring kahyangan ira Hyang Agni Jaya, moga-moga kita tan dadi jadma, wastu kita ping tiga kena saupa drawa.
Jero Mangku Gede Wangi juga mengatakan, untuk memulai belajar ilmu pengetahuan, apalagi ilmu keagamaan Hindu, sangat baik jika dimulai dengan mohon restu di Pura Lempuyang Luhur. Selain itu, banyak pejabat suka bertirtayatra ke pura ini.
***