Dewa Puja

Dewa Puja artinya membunuh binatang sebagai kurban suci untuk dapat dipersembahkan kepada para dewa yang bertujuan untuk memohon agar hidup kita ini direstuiNya dengan kesentosaan. 
Oleh karena manusia menikmati makanan atas dasar kebersamaan dan merupakan pemberian dari Tuhan; 
Maka patutlah kiranya makanan itu di persembahkan kembali dan bersyukur atas anugrah yang telah didiberikaNya seperti makna yang tersirat dalam banten saiban sehari-hari.

Menurut Hindu Dharma disebutkan bahwa dunia ini terbentuk dari unsur “materi” (panca maha bhuta) yakni Pertiwi (tanah), Apah (air), Bayu (angin), Teja (cahaya), dan Akasa (ruang) yang sebagaimana dalam obrolan sasih kesanga dikatakan :
  • Di Bhuwana Agung (alam semesta) ini, unsur-unsur dari panca maha bhuta digerakkan oleh energi kosmik yang dikendalikan Hyang Tunggal, 
  • Sedangkan dalam tubuh mahluk (sarwa prani) digerakkan oleh energi kosmik yang dikendalikan Sang Atma.
Untuk kehidupan, manusia membutuhkan material karbohidrat, protein, vitamin, air, dan mineral, yang dimetabolisme menjadi energi. Dengan mengkonsumsi makanan, manusia memenuhi kebutuhan “bhuta (materi) dan kala” (energi) dalam tubuhnya.

Baik di alam semesta dan dalam tubuh, unsur material maupun energi saling terkait. 
Jika kedua unsur ini tak seimbang, maka di alam terjadi gejolak (bencana). 
Jika di buana alit (tubuh) maka manusia akan sakit. 

Ketidakseimbangan ini menimbulkan “energi negatif” yang mempengaruhi gelombang elektromagnetik otak manusia, berakibat pada peningkatan emosi, stress, depresi, beringas, gelap mata, mudah tersinggung, saling curiga, kebingungan, sakit tak karuan, dll. Dalam dunia spiritual dikatakan terkena pengaruh “bhuta kala”.
 
Untuk menyeimbangkan kondisi ini, dibutuhkan material dan energi yang didapat dari sumber hidup (hewan caru) dalam bentuk “biomaterial” dan “bioenergi”. 
Dengan kekuatan “mantra” Sang Sulinggih serta anugrah para dewa, diyakini unsur biomaterial dan bioenergi dari hewan caru akan melebur melalui proses “dematerialisasi” mengisi bagian-bagian material dan energi yang tak seimbang.
    • Semakin luas areal kerusakan, makin banyak material dan energi yang dibutuhkan. Artinya hewan carunya makin besar ukurannya dan makin beragam. 
    • Demikian juga dengan durasi (lama) kekuatan / daya harmonisnya.  Makin besar dan beragam hewan caru, maka makin lama durasi daya harmoninya. 
Hal ini memunculkan jensi-jenis caru seperti halnya rsi ghana dll. Kebutuhan biomaterial dan bioenergi ini menyebabkan hewan caru tidak bisa diganti dengan boneka, plastik, gambar, dll.

Darah (rah) adalah simbol biomaterial dan bioenergi. “Tabuh rah” (muncratnya darah) adalah pelepasan biomaterial dan bioenergi ke alam kosmik guna penyelarasan. Oleh karena itu, dalam upacara mecaru kerapkali diikuti dengan “tabuh rah”.
Energi negatif (bhuta kala) yang timbul karena ketidakseimbangan, oleh Sulinggih ditarik, difiksasi, dan diselaraskan dengan kekuatan mantra, yantra, sastra, mudra, bhatin, bersaranakan biomaterial dan bioenergi yang tersedia di dalam caru
Proses ini disebut dengan “ngarad / ngundang bhuta” dan “nyomiang bhuta”, sehingga muncul energy positif. Sifat buruk “bhuta” berubah menjadi sifat “dewa”, sehingga ada istilah “Dewa ya bhuta ya”.

Dan pada zaman dahulu, leluhur kita tak sewenang-wenang memakai hewan sebagai caru. Sebelumnya dilakukan upacara melepas prani / mepepada untuk menyucikan rohnya, agar dapat menyatu ke alam nirwana. Jika terlahir kembali ke dunia ini akan menjadi mahluk utama. Dengan demikian hukum Himsa Karma diminimalisir menjadi “Himsa Dharma”.
***