Keharmonisan

Keharmonisan berasal dari kata "Harmonis" sebagai tujuan dari masyarakat yang berlandaskan pada konsep Tri Hita Karana sehingga diharapkan tercipta keselarasan dalam lingkungan yang damai.
Terjadinya keharmonisan alam ini ibaratnya seperti keberadaan bhuwana agung yang tertata dalam keselarasannya,
Dimana tiap-tiap unsur yang membentuk alam berelasi dalam harmoni, sehingga terjadi kelestariannya.
Karena tanpa adanya pelestarian terhadap sesuatu yang sudah ada sebagai warisan leluhur akan menjadi punah.
Sejatinya dikatakan, setiap unsur yang terdapat dalam alam semesta ini memiliki fungsi sesuai kodrat bawaannya. 
Kewajiban setiap unsur adalah merealisasikan fungsi yang diembanya. 
Dalam merealisasikan fungsinya, setiap unsur alam semesta memanifestasikan potensi yang menjadi bekal pada lingkunganya. 
Dengan menunaikan kewajiban yang menjadi fungsinya maka tiap-tiap unsur memperoleh hak yang sepadan dengan fungsi yang diembannya sehingga terjadilah keserasian antara hak dan kewajiban antara hak asasi dan kewajiban asasi.
Apabila setiap unsur dalam alam semesta telah menaikan fungsinya secara tepat dan benar, maka akan terjadi ketertiban, keteraturan, ketentraman, dan kedamaian.
Demikian dikutip dari salah satu tugas Pancasila sebagai kekuatan yang menjadi modal dari setiap unsur bukan saling beradu untuk mencari menangnya sendiri, 
tetapi berpadu untuk menjadi kekuatan yang sinergis dalam mewujudkan keharmonisan bermasyarakat.
***
Dan begitupun dasarnya dari semua yadnya dalam mengikis kemelekatan yang bertujuan untuk "KEHARMONISAN".
Bagaimana kita menikmati perjalanan hidup yang berdampingan antara Dewa dan Bhutakala. Baik dan buruk, dan lain lain rwabhineda.
Dalam yadnya itu sendiri sudah tertanam konsep kasih sayang, cinta kasih, tatwam asi dll. 
Dengan merangkul rwabhineda dengan kasih sayang. Tanpa memihak salah satunya. Maka dibuatkanlah persembahan kepada Dewa seperti kehendak beliau, sekaligus dibuatkan persembahan kepada Bhutakala juga seperti kehendak beliau.
Agar Dewa dan Bhutakala menjadi akur, sehingga tercipta suasana harmonis, damai, tentram .... 
Bukankah suasana yang seperti itu disebut sorga ???
Dewa dan Bhutakala digambarkan kurang lebih sama dan berimbang. 
Dewa digambarkan selalu membawa senjata (siap tempur).
Bhutakala juga digambarkan begitu, selalu membawa senjata dan siap tempur.
Dan kita (sang diri) berada ditengah tengahnya. 
Bagaimanakah seharusnya kita bersikap ?
Kalo kita hanya memuja Dewa saja tanpa peduli dengan yang lainnya, lama-lama kita akan menjadi manusia yang angkuh, kaku, tidak peduli alam sekitar kita. 
Tidak tahu keindahan, karena keindahan itu terdiri dari banyak warna. Keseringan bisa merusak apa yg sudah tertata dengan indah karena tidak disadarinya akibat terlalu fokus pada pandangan yg dilihatnya saja, sehingga meremehkan yang lainnya. 
Terus menggantinya dengan keindahan versi dirinya.
Itu namanya kebenaran yang merusak kebenaran yang lainnya sebagai akibat terlalu fokus dengan satu sudut pandang saja.
Orang seperti ini akan susah membaurkan dirinya di dalam masyarakan yang heterogen. 
Hanya bisa mengelompok dengan kaumnya saja. Sebab mereka akan selalu menghindari hal hal yang mereka anggap menodai kesucian dirinya.
Kalo kita hanya memuja Bhutakala saja. 
Akan menciptakan pribadi yang arogan, brutal, jahat, tega terhadap mahluk lain dan sebagainya dan sebagainya.
Sebagai umat Hindu Dharma, terkhusus di Bali, sepatutnyalah kita merangkul semuanya. 
Menjadikan bagian dari diri kita.
Mulailah dari dalam diri kita.
Bukankah untuk bisa dicintai dan dikasihi, kitalah yang harus mengasihi dan mencintai terlebih dahulu.
Tanpa menjunjung tinggi kawan, tanpa meremehkan lawan. Artinya tidak menempel pada salah satu pihak. 
Rangkul keduanya dengan ikatan tali kasih sayang. Sehingga semuanya menjadi akur, indah, harmonis, damai dll.
***