Mapepada berasal dari kata “pada” dalam bahasa Bali.
Pada sendiri pada dasarnya memiliki dua makna, “sama” dan “kaki”."Pada" dapat diartikan sebagai penyamaan terhadap roh hewan yang akan digunakan untuk sarana upakara.
Menurut budayawan I Gede Anom Ranuara dalam salah satu kajian Kurban Hewan dalam jurnal filsafat Universitas Gajah Mada disebutkan bahwa,
Dengan diadakannya upacara Mapepada, diharapkan arwah dari hewan yang digunakan untuk upakara, ketika lahir kembali mengalami kenaikan tingkat atau tidak menjadi hewan kembali (Suyatra, 2018) .Lebih lanjut disebutkan, Mapepada dilaksanakan beberapa hari sebelum dilakukan pemotongan hewan untuk upacara.
Biasanya, upacara ini menggunakan banten (sesajen) dengan tingkatan bebangkit dan dipuput (diselesaikan) oleh seorang sulinggih (pendeta Hindu).Upacara ini bertujuan untuk mendoakan dan memohon kepada Dewa Siwa agar hewan yang digunakan untuk upacara mengalami kenaikan derajat. Sulinggih (pendeta Hindu) pun merupakan simbol Siwa Sekala yang erat berkaitan dengan peleburan dosa (Suyatra, 2018)
Setelah semua upakara lengkap, upacara dilanjutkan dengan menuntun hewan yang akan dikurbankan mengitari tempat upacara sebanyak tiga kali. Konsep yang digunakan adalah Murwa Daksina yang artinya bergerak menuju ke atas atau menuju tingkat yang lebih tinggi.
Setelah upacara Mapedada selesai sehingga semua hewan kurban telah disucikan, maka beberapa hari kemudian hewan tersebut akan dikurbankan dengan cara dipotong sebagai unsur dari upakara (Ranuara dalam Suyatra (Suyatra, 2018)
"Eesvarthesu pacunhimsan veda, tattvarthavid dvijah,atmanam ca pacum caiva ga,mayatyutanam gatim"Arti dari sloka ini adalah, dikutip dari Pudja dan Sudantra (Pudja, I G., & Sudantra, 1973) ,
“Seorang yang mengetahui arti sebenarnya dari Weda, menyembelih seekor hewan dengan tujuan-tujuan tersebut di atas menyebabkan dirinya sendiri bersama - sama hewan itu masuk ke dalam keadaan yang sangat membahagiakan.”Sloka di atas menjadi latar belakang dan acuan umat Hindu Bali dalam menggunakan hewan sebagai salah satu unsur dalam upakara Yadnya. Menjadikan hewan sebagai kurban suci diharapkan dapat membuat manusia lebih mampu mendekatkan diri dengan Tuhan dan akhirnya dapat menyatu dengan-Nya.
Umat Hindu Bali pun percaya bahwa hewan yang dikurbankan tidaklah semata-mata “digunakan” sebagai keperluan manusia.
Dengan pengorbanan, hewan yang dikurbankan sendiri akan mendapatkan tempat yang lebih baik setelah kematiannya. Kitab Manawa Dharmasastra V.40 menguraikan bahwa:
"Osadyah pasavo vriksastir, yancah paksinastatha, yajnyartham nidhanam praptah, prapnu vantyutsritih punah"Arti dari sloka ini adalah, dikutip dari Pudja dan Sudantra (Pudja, I G., & Sudantra, 1973),
“Tumbuh-tumbuhan semak-semak, pohon-pohonan, ternak, beburon seperti burung-burung lainnya yang telah digunakan sebagai sarana upakara akan lahir dalam tingkat yang lebih tinggi pada kelahiran yang akan datang.”Umat Hindu mempercayai punarbhawa, yaitu reinkarnasi atau kelahiran kembali. Maka, setelah makhluk hidup mati, ia akan terlahir kembali sesuai dengan karma wesana (bekas-bekas perbuatan)-nya.
Punarbhawa akan terus berlanjut sesuai dengan perbuatan manusia, hingga ia akhirnya menyatu dengan Tuhan (moksa), yang merupakan tujuan utama dari umat Hindu.
Jika manusia membawa karma (perbuatan) baik, maka ia dapat terlahir kembali sebagai manusia yang lebih baik daripada sebelumnya.
Akan tetapi,
Jika ia banyak membawa karma yang tidak baik, besar kemungkinan ia akan terlahir kembali dengan keadaan yang lebih buruk, bahkan menjadi hewan dan tumbuhan.
Keistimewaan manusia, dalam kepercayaan Hindu, adalah ia mampu untuk membedakan baik dan buruk, sehingga ia bisa menentukan sendiri perbuatan seperti apa yang akan dia lakukan.
Maka, kelahiran kembali adalah kesempatan bagi manusia untuk memperbaiki diri sehingga ia bisa membawa dirinya ke nirbanapadam (alam kelepasan), atau moksa.
Dalam kitab Sarasamuscaya 4 disebutkan bahwa:
Maka, kelahiran kembali adalah kesempatan bagi manusia untuk memperbaiki diri sehingga ia bisa membawa dirinya ke nirbanapadam (alam kelepasan), atau moksa.
Dalam kitab Sarasamuscaya 4 disebutkan bahwa:
“Iyam hi yonih prathamāArti dari sloka ini adalah, dikutip dari Tim Penyusun (Tim Penyusun, 1996), “Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama.
Iyām prapya jagatipate
Ātmanam sakyate tratum karmabhih
Subhalaksanaih”
Sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya dari samsara dengan jalan berbuat baik. Demikian keunggulan menjadi manusia.”.
Maka dari itu, dengan mengorbankan hewan, manusia telah membantu hewan tersebut untuk “naik tingkat” agar ia dapat menjelma sebagai manusia di kelahiran setelahnya.
Dengan menjadi manusia, ia akan dapat memperbaiki diri dengan melakukan karma baik, sehingga jalan menuju moksa akan semakin dekat.
***