Hewan Upakara

Hewan Upakara adalah beragam jenis binatang (beburon) yang digunakan dalam upacara yadnya di Bali seperti halnya dalam penggunaan caru sebagai bentuk kurban suci dan persembahan sebagai simbol kemakmuran.

Hewan upakara kalau dilihat dari dunia biologi dapat dikelompokan dalam dua kelompok utama yaitu 
  • Hewan bertulang belakang (Vertebrata) dan 
  • Hewan yang tidak bertulang belakang (Avertebrata). 
Dari kelompok vertebrata ada 5 kelas yaitu: Mamalia, burung, reptil, amphibi dan ikan. 

Sementara dari kelompok Avertebata yang sering digunakan hanya dari kelas hewan berbuku-buku (Athropoda), diantaranya udang dan kepiting. 

Kaitannya dengan penggunaan hewan upakara, khususnya oleh umat Hindu di Bali, pengelompokan didasarkan atas jumlah kaki dan habitat hidup dari hewan tersebut. 

Pengelompokan tersebut yaitu: 
  • Hewan Suku pat (berkaki empat), seperti : kebo, sapi, misa, kucit, cicing, celeng dll.
  • Soroh kedis (burung/aves/unggas), angsa, ayam, bebek dll.
  • Isin alas / hutan, lelipi, landak, rase, alu dll
  • Isin tukad, seperti ikan, udang, kepiting dll.
  • Isin carik, seperti : balang, capung, katak, lindung dll
  • Isin pasih seperti : kakap, gerang dll
  • Gumatat-gumitit seperti : tabuan, nyawan (lebah), kumbang, ancruk, teledu (kalajengking), uled dll
  • Hewan Langka menurut World Wildlife Fun (WWF).
Demikian disebutkan dalam salah satu artikel jenis hewan upakara dan upaya pelestariannya yang dikutip dari Grup Riset Kajian Nutrisi Ternak Nonruminansia Fakultas Peternakan Universitas Udayana

Dan adapun peluang bisnis dari kegiatan upacara agama Hindu di Bali yang demikian disebutkan sering terjadi membutuhkan upakara yang tidak sedikit, termasuk hewan upakara. 

Keadaan ini membuka lahan bisnis yang cukup menjanjikan. Belakangan sudah mulai bermunculan pedagang hewan upakara di semua kabupaten dan kota se Bali. 
  • Mulai dari ayam caru, itik, babi, kambing, sampai kerbau. Dari sekian jenis hewan upakara, nampaknya pedagang ayam upakara yang paling banyak. Hal ini terkait dengan penggunaan ayam frekwensinya paling sering. 
  • Ayam berumbun adalah ayam yang paling sering dibutuhkan untuk upakara, khususnya caru. 
Kehadiran pedagang hewan upakara manfaatnya sangat dirasakan oleh masyarakat. Mereka terbantu manakala memerlukan hewan upakara, apalagi keperluan tersebut sifatnya mendadak. Para pedagang sudah ada yang mengiklankan dagangannya dengan cara memasang pelang di depan rumahnya, lengkap dengan nomor teleponnya. 

Kesibukan masyarakat akhir-akhir ini di lihat dengan jeli oleh para pedagang. Bahkan termasuk penyediaan olahan ben caru, guling, betutu atau ben banten sudah bisa di pesan pada pedangan yang memang secara khusus melayani keperluan tersebut. 
Jadi betul-betul praktis, khususnya bagi mereka yang waktu dan tenaganya sangat terbatas, sehingga tidak sempat menangani sendiri keperluan tersebut. 

Sebagai ilustrasi, di Bali terdapat 1.488 desa adat (Pers.com MDP Bali, 2013), masing-masing mempunyai minimal mempunyai tiga pura (kayangan tiga), sehingga jumlah kayangan tiga = 3 × 1.488 = 4.464 buah. 
Jika diasumsikan setiap kayangan tiga ngodalin 2 kali setahun, maka dalam setahun akan terjadi 2 × 4.464= 8.928 odalan. 
Setiap odalan minimal akan mecaru abrumbunan, maka untuk keperluan odalan di pura kayangan tiga saja setahun diperlukan ayam berumbun 8.928 ekor. 

Belum lagi upacara yang lain, diantaranya: odalan di pura kahyangan jagat, pura swagina, pura paibon, melaspas rumah, bangunan, atau ngeruwak, dan lain-lain. Demikian halnya kebutuhan babi guling

Sebagai contoh masyarakat pangempon Pura Puncak Bukit Gumang yang terdiri dari empat desa adat (Desa Bugbug, Babandem, Jasri, dan Ngis di Karangasem) setiap tahun mengadakan Usaba Gumang (nemoning purnama sasih kapat). 
Dalam kegiatan usaba ini ada satu prosesi yang disebut dengan mapinton. Setiap orang tua mempersembahkan babi guling guna memohon keselamatan untuk anak-anaknya. 

Jika anaknya laki-laki, maka babi yang diguling adalah babi jantan, sedangkan yang memiliki anak perempuan akan mempersembahkan babi guling betina. 

Saat upacara mapinton ada sekitar 1000 ekor babi guling dipersembahkan kehadapan Ida Sesuhunan di Pura Bukit Gumang, karena rata-rata setiap keluarga mempersembahkan satu ekor babi guling. Demikian juga masyarakat Desa Timbrah Karangasem memiliki tradisi mempersembahkan babi guling sebagai simbol kemakmuran dan pembawa berkah.
***