Hutan

Hutan [ENG : Forest] adalah alas dalam bahasa Balinya yang dijaga kesucian dan kelestariannya sesuai dengan konsep wana kerti yang bertujuan :
  • Sebagai perlindungan keseimbangan alam dan kehidupan secara sekala dan niskala.
  • Menjaga vibrasi energi positif pada hutan-hutan dan gunung - gunung.

Pada zaman dahulu, dalam kehidupan masyarakat agraris di Bali disebutkan banyak hewan yang ada disana diantaranya bernama :

  • Asu alas (anjing hutan).
  • Hayam alas (ayam hutan)
  • Alas burwan haji, hasil perburuan raja di hutan.
  • Klesih yang bermanfaat untuk menghilangkan bisa beracun seperti ular (lelipi), kalajengking dll.
  • Babi hutan (celeng alas) yang memiliki dua taring panjang seperti diceritakan dalam kisah waraha awatara.
  • Alas angker [hutan lindung] dalam 
  • dll.
Dan di zaman kerajaan dahulu di Bali, untuk mengurus hutan atau kayu / pepohonan disebut dengan “ Hulu Kayu “ yaitu pejabat setingkat menteri seperti yang tertulis dalam Prasasti Bebetin AI Berangka tahun 818.

Sejak sekitar 1000 tahun yang lalu, orang Bali Nguni sudah mempunyai Peraturan tentang Hutan, Kayu dan Tanaman lainnya. 
Mana yang disebut Kayu Larangan, kenapa Kayu Larangan boleh ditebang.

Dan semua itu dituliskan dalam Prasasti, yang sama seperti undang - undang resmi kerajaan.

Jenis Kayu Larangan seperti yang dikutip dari artikel Bli Wayan Kaler di fb dikatakan bahwa kayu yang tidak boleh ditebang dan kapan boleh ditebang tertulis dalam Prasasti Babahan Kelompok II Lempeng 4a.

Raja yang bertahta adalah
Sri Maharaja Sri Walaprabu ( Tahun 1001 - 1010 ).
Yang mana kutipannya sebagai berikut :
“ …….. dadya rugakna kamiri, bodhi, wariṅin, skar kuniŋ, mĕṇḍĕ, kamukus, kapulaga, sakweḥni kayu laraṅan yan katṅahana kalinya aṅĕbi sawahuma, makādi tirisan tan katampuhana doṣa, maṅkana yan patahil dṛwya haji, tan ḍawuhana pamli, tan palakwana pirak deniŋ cakṣu para cakṣu, tan sipatĕn “
Terjemahan :
“ ……. diperbolehkan menebang pohon kemiri, bodhi, beringin, kembang kuning, mĕṇḍĕ (Garcinia atau sejenis manggis), kemukus, kapulaga, segala jenis kayu larangan jika menghalangi saluran airnya atau menaungi sawahnya, seperti pohon kelapa tidak dianggap salah, demikianlah jika membayar pajak raja, tidak dikenakan iuran yang berkenaan dengan pembelian, tidak diberlakukan iuran (berupa) perak oleh para pengawas, tidak disalahkan “

Dalam prasasti ini juga disebutkan seorang yang bertugas tentang penataan bunga di Bangunan Suci yang dijabat oleh Mpu Hulu Sekar.

Hanya itu yang bisa terucap setelah menyimak isi Prasasti diatas.
Betapa hebatnya kearifan lokal leluhur Bali Kuno pada zaman dahulu dalam menghargai tumbuhan dan menjaga lingkungan.

 ***