Religi

Dalam kehidupan masyarakat prasejarah, sistem religi merupakan salah satu unsur kebudayaan yang bersifat universal dan sangat kompleks. 

Sistem religi, kepercayaan, dan agama di dunia berpusat kepada suatu konsep tentang hal yang Gaib (mysterium) yang dianggap mahadahsyat (tremendum) dan keramat (sacred) oleh manusia.

Dalam semua masyarakat dan kebudayaan di dunia “hal yang gaib dan keramat” menimbulkan sikap kagum-terpesona, selalu akan menarik perhatian manusia, dan mendorong timbulnya hasrat untuk menghayati rasa bersatu dengannya (Koentjaraningrat,1987: 65).
Seperti halnya pada zaman dahulu, sebagai peninggalan tradisi zaman megalitik, misalnya; tahta batu, dolmen, menhir, arca yang bercorak megalitik disebutkan mencerminkan bahwa perkembangan religi pada masa itu telah maju.
Secara umum dalam Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali sebagai sumber belajar kebudayaan Bali dan upaya pelestariannya disebutkan ada 5 unsur pokok yang berkembang dalam berbagai religi di dunia. 

Kelima unsur tersebut berpadu seperti halnya : 
  1. Emosi keagamaan
  2. Sistem kepercayaan
  3. Sistem ritual dan upacara
  4. Peralatan situs dan upacara, 
  5. Kelompok keagamaan atau satuan-satuan sosial yang mengonsepkan dan mengaktifkan religi serta sistem keagamaan. 
Kepercayaan terhadap adanya kekuatan diluar kekuatan manusia sudah ada sejak konsep religi dikenal oleh manusia. Bagi masyarakat prasejarah
Kepercayaan terhadap kekuatan arwah, ada kehidupan sosialnya. Mereka percaya bahwa ada kehidupan lain setelah kematian, yaitu didalam arwah atau supernatural. 
Kepercayaan ini mendorong mereka untuk brtempat tinggal di pegunungan, terutama pada hulu sungai dimana air tetap dianggap dapat menunjang kelangsungan hidup. 

Munculnya kepercayaan bahwa arwah nenek moyang bersemayam di suatu tempat yang tinggi, seperti dipuncak-puncak gunung
Hal ini menimbulkan kepercayaan bahwa puncak-puncak gunung merupakan tempat suci dan tempat bersemayamnya para dewa.
Pemukiman merupakan tempat manusia mengelola lingkungannya, membangun tempat berlindung dari pengaruh panas, hujan, dan angin, serta merupakan pusat aktifitas dan religiusnya. 

Pemilihan lokasi pemukiman sangat bergantung kepada ketersediaan sumber daya yang akan dieksplorasi. 
Dahulu, pada umunya, pemilihan lokasi pemukiman yaitu didekat sungai atau hutan yang kaya dengan sumber daya alam baik dalam bentuk flora atau fauna untuk menunjang kehidupan.
Oleh karena itu, dahulu bangunan-bangunan pemukiman didirikan dengan sumber mata air sedangkan bangunan yang berhubungan dengan kegiatan religius memilih lokasi di puncak gunung, bukit atau tempat lain yang lokasi lebih tinggi.
Seperti halnya keberadaan Pura Besakih yang berada di Gunung Agung dengan Pedharman yang ada sebagai tempat untuk pemujaan dan penghormatan kepada para arwah leluhur.
  • Koentjaraningrat dalam Wisparina (2013 : 20) dalam Dewi (2015 : 29) disebutkan bahwa.
”Religi adalah sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat tradisional. Religi adalah segala sistem tingkah laku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyadarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan makhluk - makhluk halus seperti roh-roh, dewa-dewa dan sebagiannya yang menempati alam.
Setiap masyarakat tradisional memiliki sistem kepercayaan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Kepercayaannya bersifat magis ada yang animisme dan dinamisme. Percaya akan adanya benda yang mempunyai spirit atau roh, juga adanya kepercayaan akan sesuatu hal yang mempunyai kekuatan gaib. Sesungguhnya kekuatan itu meliputi semua ruang yang membedakannya adalah frekuensinya besar atau kecil. Sebab lingkungan alam yang tidak nyata tersebut, sesungguhnya tidak beda pula dengan kehidupan di dunia nyata, hanya saja tidak semua orang bisa melihatnya dengan kasat mata. Teori religi ini digunakan keterkaitannya pada hal - hal yang ada hubungannya dengan segala kekuatan magis yang ada di Pura Mekah.
  • Sehubungan dengan hal itu, Ghazali (2011 : 73-74) juga menyebutkan bahwa.
”Taylor berpendapat dalam bukunya ”Primitive Culture” dijelaskan bahwa manusia pertama mengamati dirinya dan manusia di sekitarnya serta mengambil konklusi mengenai adanya ”jiwa” dan ”anima” yang menurutnya penemuan ini melalui jalur pemikiran mimpi dan kematian. Disebutkan pula bentuk kepercayaan asal manusia adalah animisme. Teori ini timbul atas dua hal. Pertama, adanya dua hal yang nampak, yakni hidup dan mati, bahwa kehidupan diakibatkan oleh kekuatan yang berada di luar dirinya. Kedua, adanya peristiwa mimpi, sesuatu yang hidup dan berada di tempat lain pada waktu tidur, yakni jiwanya sendiri. 
Jiwa bersifat bebas dan berbuat sekehendaknya. Alam semesta penuh dengan jiwa – jiwa yang merdeka itu, yang disebut dengan soul atau spirit, atau makhluk halus. Pikiran manusia telah mentransformasikan kesadaran terhadap adanya jiwa menjadi kepercayaan terhadap makhluk – makhluk halus. Manusia melakukan penghormatan dan pemujaan melalui beberapa upacara berupa doa, sesaji atau korban. Kepercayaan semacam ini oleh Taylor disebut dengan animisme atau belifs in spiritual beings.
Pendapat Taylor di atas menunjukkan bahwa kekuatan jiwa sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Kekuatan roh atau jiwa - jiwa tersebut selalu hidup walaupun dunianya telah berbeda. Yang mati hanya badan kasarnya saja sedangkan badan halusnya tetap hidup dan mampu menembus ruang dan waktu. Sikapnya pun tidak bisa dipastikan ada yang kehausan, ada yang kelaparan, ada pula yang polos, serta ada pula yang bijaksana, sesuai dengan bawaan sikap masing – masing. 
Disamping itu ada pula yang mempunyai sifat sebaliknya yang terkadang mengganggu orang di sekitarnya. Semua itu dalam kepercayaan umat Hindu di Bali, dilakukan upacara persembahan termasuk doa, sesaji bahkan korban untuk menaklukkan makhluk – makhluk tersebut agar kembali ke alamnya sehingga kehidupan tetap tenang dan harmonis.
***