Hukum Adat

Hukum Adat adalah aturan - aturan sebagai endapan rasa kesusilaan bermasyarakat yang kebenarannya telah mendapat pengakuan secara umum dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
Dimana istilah pelanggaran terhadap norma-norma hukum adat di Bali disebut dengan Delik Adat yang pengenaan sanksinya biasanya diatur dalam awig-awig desa.

Dan secara umum, masyarakat hukum adat diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa :
"Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang".
Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentahg Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yaitu :
Pasal 1 angka 3 menentukan bahwa masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang-orang yang terikat oleh hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena persamaan tempat tinggal ataupun berdasarkan atas keturunan.
Juga kedudukan tanah adat tidak dapat dipisahkan dengan UUPA dan kedudukan tanah adat di Bali secara umum.

Sebagaimana tertuang dalam ketetapan peraturan daerah Tingkat I Bali Nomor 06 Tahun 1986 tentang kedudukan, fungsi dan peranan desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali, tanggal 25 Juni 1986 sehingga diharapkan Bali tetap dapat menjaga dan melestarikan eksisitensi desa adat yang ada yaitu dalam rangka :
  • Pelaksanaan kebijakan Pemerintah Daerah sebagai guru wisesa yang memimpin dan mengayomi rakyatnya dengan baik.
  • dan dalam penyelesaian konflik adat yang timbul maupun kepada lembaga adat di dalam seluruh aspeknya.
    • Karena keberadaan lembaga-lembaga adat tersebut seperti halnya desa adat secara sosiologis masih dipelihara oleh masyarakat desa (krama) adat sebagai perwujudan budaya bangsa yang perlu diayomi dan dilestarikan.
Dalam pengenalan hukum adat Bali disebutkan selalu mengusahakan adanya keseimbangan triangulasi antara Tuhan, manusia, dan alam (Tri Hita Karana). 
Sehingga pelanggaran terhadap hukum adat dianggap menyebabkan terganggunya keseimbangan kosmis sekala-nislaka. 
Setiap perbuatan yang menggangu perimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum dan prajuru desa pakraman perlu mengambil tindakan-tindakan untuk memulihkan kembali harmoni yang terganggu. 

Maka pemulihan itupun mencakup dunia sekala (nyata) dan niskala (tidak nyata), yang berwujud pamidanda (hukuman) berupa sangaskara danda yaitu hukuman dalam bentuk :
  • Pelaksanaan upacara adat tertentu, 
  • artha danda (hukuman berupa pembayaran sejumlah uang atau harta), 
  • dan jiwa danda (hukuman pisik dan psikis).
Penjatuhan sanksi terhadap pelanggar hukum adat umumnya tidak dilakukan secara semena-mena, tetapi sudah disyaratkan wenang mesor singgih manut ring kasisipan ipun (berat ringannya hukuman harus sesuai dengan tingkat kesalahannya atau pelanggarannya). 

Dalam hal ini wiweka prajuru desa pakraman sangat menentukan. Pelaksanaan hukum adat termasuk sanksi adat selalu mengutamakan kerukunan dan rasa kepatutan dalam masyarakat. Selain itu sanksi adat bersifat edukatif, mengutamakan upaya penyadaran dan tuntunan.

Contoh hukum adat Bali;
Anak luar kawin dalam hukum adat Bali membedakan anak luar kawin dalam dua jenis, yaitu anak astra dan anak bebinjat. 
    • Anak bebinjat yaitu anak luar kawin yang bapaknya sama sekali tidak diketahui atau tidak dikenali, atau si ibu tidak dapat menunjukan laki-laki yang menghamilinya. 
    • Berbeda halnya dengan anak astra yang merupakan anak yang lahir di luar perkawinan tetapi diketahui bapak biologis dari si anak.
***