Upacara Meprani

Upacara Meprani adalah ungkapan rasa syukur dan bhakti kehadapan Ida Sanghyang Widhi dengan sebuah persembahan yang bertujuan untuk memohon kesejahteraan semua mahluk (sarwa prani) dan alam semesta ini agar tercapainya keseimbangan dan alam ini menjadi semakin stabil serta suci nirmala.

Seperti halnya penjelasan upacara meprani sebagaimana disebutkan oleh kanduksupatra yang dilakukan di banjar pada saat satu hari menjelang Nyepi sejatinya hanyalah salah satu dari sekian banyak rangkaian upacara kesanga yang diawali dengan melasti, mecaru pemarisuda bhumi, meprani, ngerupuk, Nyepi (nyatur brata), ngembak geni.

Upacara meprani yang biasanya dilakukan di banjar pada pagi hari sejatinya diawali dengan upacara pemarisuda bhumi (pembersihan dan penyucian bhuana agung dan bhuana alit) dalam sekala kecil yakni ruang lingkup banjar dan krama banjar. 

Upacara ini bersaranakan caru eka sata sebagai sarana pengharmonisan alam sekala dan niskala, pengharmonisan Panca Maha Buta
Dilengkapi dengan banten durmanggala sebagai sarana untuk membersihan kedurmanggalan atau energi - energi yang tak sejalan dengan kehidupan manusia, dilanjutkan dengan pengulapan yakni sarana untuk mengembalikan energi - energi alam semesta ke posisinya masing - masing, dan dilanjutkan dengan ngelis dan prayascita yang maknanya untuk membersihkan dan menyucikan segala yang ada di dunia baik bhuana agung maupun buana alit, sekala dan niskala. 
Dengan upacara mecaru ini diharapkan energi alam semesta kembali dalam keseimbangan, bersih, tenang, dan suci. Inilah mengapa kemudian disebut dengan pemarisuda bhumi.

Lalu untuk ruang lingkup yang luas dilanjutkan dengan caru di tingkat desa yang dilakukan di catus pata desa dengan menghaturkan caru panca sata. 
  • Dilanjutkan lagi dengan yang lebih luas yakni untuk tingkat kabupaten / kota dengan pelaksanaan tawur di pusat kota. 
  • Demikian seterusnya dalam sekala yang lebih besar, dengan harapan alam semesta beserta dengan isinya kembali dalam keseimbangan (stabil) yang dalam Bahasa Balinya disebut dengan gumi degdeg / gumi enteg suci nirmala.
Dalam keteguhan merawat budaya dan gotong royong ala Bali juga disebutkan bahwa setelah dilakukan meprani, semua krama banjar beramahtamah dengan makan bersama menikmati hidangan yang ada di banten prani, sebagai simbol anugerah amerta Ida Sanghyang Widhi Wasa. 
Menurut saya, acara ini memiliki nilai sosial karena ada kebersamaan antar sesama warga, seperti juga ritual jelang Nyepi lainnya.
***