Kesucian Hati

Kesucian Hati adalah salah satu tujuan dari sebuah prosesi berkaitan dengan pelaksanaan upacara yadnya agar pikiran yang suci dapat menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa.

Dimana dalam rangkaian upacara mereresik dikatakan bahwa : 

Kesucian hati akan dapat membuat orang berbahagia.

Suddha asirvam mamattu [Rg veda VIII.95.7]

Namun ketika seorang masih diliputi kesombongan diri maka disebutkan masih akan berada dalam keadaan awidhya yaitu belenggu kegelapan bathin yang dapat menyelimuti kesadaran manusia.
Dikisahkan, tersebutlah ada seorang anak penggembala sapi bernama Tuwon.
  • Ia buta huruf, tetapi tidak pernah berbuat dosa atau berpikiran jahat. 
  • Ia biasanya menggembalakan sapi-sapinya di pinggir hutan sepanjang hari dan baru kembali pulang di waktu malam. 
Pada suatu hari, seorang pendeta datang ketempat ia menggambar. Pendeta itu mandi di sungai dan kemudian duduk di tepi sungai melakukan Pranayama
Tuwon memperhatikan perbuatan pendeta itu dengan penuh rasa ingin tahu.
Setelah pendeta selesai melaksanakan puja dan akan pergi, Tuwon memegang kaki pendeta itu lalu bertanya:
“Apakah yang anda lalukan?” “Aku melakukan puja kepada Tuhan” Jawab Sang Pendeta.
Percakapan pun berlanjut :

Tuwon : “Apa arti puja itu pendeta yang suci?”
Pendeta : “Puja adalah memuji Tuhan dengan berulang kali mengucapkan mantra Gayatri”. 
Tuwon : “Apa itu mantra Gayatri?” 
Pendeta : “Kau anak buta huruf. Engkau tidak dapat mengerti semuanya ini. Jangan banyak tanya, kamu tidak akan bisa mengerti. Saya mau pergi”. 
Tuwon : “Baiklah, yang mulia, anda dapat pergi, tetapi katakan pada saya tentang satu hal”. 
Pendeta : “Apa yang engkau mau tahu?” 
Tuwon : “ Mengapa anda menutup hidung anda ketika melakukan puja?” 
Pendeta : “Dengan menutup hidung, jalan nafas akan berhenti dan pikiran terkonsentrasi, dengan konsentrasi orang bisa melihat Narayana”. 
Tuwon : “Baiklah, sekarang anda dapat pergi”. 
Pendeta itupun lalu pergi. 
Tuwon menganggap pendeta itu sebagai gurunya. 
Ia lalu mandi di sungai dan duduk, menutup hidung dengan jarijarinya meniru apa yang telah dilakukan oleh pendeta gurunya itu.
Semenit kemudian ia mulai berpikir :
“Narayana belum datang, mungkin Beliau akan datang nanti. Sebaiknya saya teruskan saja. Saya mesti melihat Narayana””. 
Setelah beberapa menit berlalu ia menjadi gelisah, namun tetap tidak membuka hidungnya. Narayana tergerak hati Beliau oleh keyakinan Tuwon yang kuat, dan kesungguhan dari penggembala itu. 
Beliau khawatir penggembala itu akan kehabisan nafas.
Maka Narayana lalu menampakkan diri. 
Tuwon akhirnya melihat Narayana dengan rupa yang istimewa, dengan empat tangan dan memegang cakra

Tuwon :“Siapa anda ini? 
Narayana :“Aku yang kamu puja. Aku datang menampakkan diri karena kamu menutup hidungmu.” 
Tuwon :“bagaimana saya dapat percaya bahwa anda adalah Narayana?” 
Narayana : “Kamu boleh meminta apa saja yang kamu inginkan dan aku akan kabulkan semua permintaanmu.” 
Tuwon :Nanti dulu, saya akan memanggil guru saya, jika ia mengatakan ya, maka saya akan percaya. 
Narayana :“Baiklah, pergilah dan panggil dia.” 
Tuwon : Tetapi nanti dulu, mungkin setelah saya pergi anda telah menghilang. 
Narayana :Tidak, aku tidak akan pergi, aku akan tetap berada disini hingga kau kembali. 
Tuwon :Tetapi bagaimana saya bisa mempercayaimu? 
Narayana :“Kalau begitu lakukan apa maumu.” 
Tuwon :“Saya akan mengikat anda dengan tali pada pohon itu.” 
Narayana : “Baiklah, lakukan apa yang kamu inginkan.” 
Tuwon segera mengambil seutas tali dari leher sapinya dan mengikat Narayana pada batang sebuah pohon. 

Segera ia menjemput pendeta, yang dianggap sebagai gurunya. Ia menemukan dan memegang kakinya. 
Brãhmanã berkata: “ Ada apa? Mengapa kau memegang kaki saya?” 
Tuwon menjawab: “Guruku, marilah pergi dengan saya dan lihat apakah benar ia adalah Narayana atau bukan. 

Pendeta itu berpikir bahwa penggembala itu adalah tolol, tetapi anak itu memegang kakinya dan tidak membiarkan ia berjalan pergi. 
Akhirnya pendeta itu terpaksa mengikuti permintaan si penggembala itu. 
Setelah sampai ternyata pendeta itu tidak melihat apa-apa. 
Tuwon menunjuk dengan telunjuknya ke arah pohon dimana Narayana diikat. 
Pendeta tidak dapat melihat Narayana karena tidak memiliki hati yang bersih. 
Ia merasa sangat terganggu dan tidak sabar. Maka untuk membebaskan diri dari penggembala itu, ia lalu berkata: 
“ Ya itu memang benar Narayana.” 
Penggembala itu puas lalu membebaskan pendeta itu, lalu pergi setelah ia menyampaikan terima kasih. Ia segera melepaskan ikatan Narayana. 
Narayana sangat senang dengan keyakinan penggembala itu kepada kata-kata gurunya lalu memberikan kesempatan kepadanya untuk meminta anugerah apa saja yang ia inginkan. 
Tuwon berkata “Oh Narayana, hamba tidak menginginkan apa-apa. 
Hamba sudah memiliki makanan yang cukup untuk memelihara tubuh hamba.” 
Narayana mendesak lagi agar Tuwon meminta sesuatu yang diinginkannya. 
Akhirnya Tuwon berkata: 
“Jika Tuhanku senang pada hamba, maka anugrahilah hamba, yaitu bilamana hamba menutup hidung, agar Tuhanku segera menemui hamba. Tuhanku tidak boleh terlambat seperti yang lalu.” 
Narayana sangat senang dengan permintaan penggembala yang sederhana dan lugu itu dan berkata: 
“Keinginanmu akan dipenuhi.” 
Sejak itu Tuwon mendapat teman bermain setiap hari. Setelah ia melepaskan sapi-sapinya makan rumput di hutan, ia lalu menutup hidungnya, dan Narayana datang untuk bermain dengannya sepanjang hari. 

Setelah beberapa tahun kemudian, 
Pendeta gurunya itu datang ke tempat Tuwon menggembala. Penggembala itu menjatuhkan dirinya di kaki pendeta dan berkata: “ Guru, anda telah menunjukkan kepada saya cara yang baik untuk melihat Narayana.” 
Pendeta itu tidak dapat mengerti apa yang dimaksud. Tuwon lalu menguraikan semua pengalamannya dari permulaan. Pendeta itu ingin tahu dan bertanya kepada Tuwon: “Coba tunjukkan kepadaku dimana Narayana itu.” 

Tuwon segera menutup hidungnya dan Narayana muncul. 
Tetapi pendeta itu tidak dapat melihat Beliau karena pendeta itu masih diliputi oleh kesombongan, menyangka dirinya lebih suci dari penggembala itu.
Kemudian penggembala itu mohon kepada Narayana agar Beliau berkenan menampakkan diri kepada gurunya.
Narayana berkata: “Ia tidak suci. Ia harus mensucikan hatinya lebih dahulu dan harus meninggalkan kesombongannya. 
Dengan begitu ia akan dapat melihat aku.” 
Mendengar hal ini, pendeta itu pun lalu sadar. 
Ia mengakui kesucian hati dari Tuwon, dan tidak menganggap dirinya lebih suci lagi dari Tuwon. 
Ia terharu dan menjatuhkan dirinya di kaki penggembala itu. Narayanapun lalu berkenan menampakkan diri beliau kepada Brãhmanã yang sudah sadar itu.

Jadi, berdasarkan pada keyakinan yang teguh, Tuwon telah bisa melihat Narayana dan bahkan bisa menunjukkan-Nya dihadapan gurunya. 
Walaupun pada mulanya gurunya menipu dia, namun karena keyakinan yang kuat kepada kata-kata gurunya, ia berhasil melihat Narayana.
Demikianlah dikisahkan dalam salah satu pendidikan agama Hindu sebagai dasar renungan bahwa :
Ketika orang-orang yang telah dapat menghilangkan kesombongan dalam dirinya maka meraka pun akan dapat menemukan kesucian hati agar lebih mudah untuk dapat menghubungkan diri dengan yang dipuja.
***