Lokika Sanggraha adalah "hamil pranikah" akan tetapi salah satu pihak tidak mau bertanggung jawab untuk melaksanakan pawiwahan atau pernikahan yang dalam Pasal 359 Kitab Adhigama sebagaimana dijelaskan pada artikel ekasuputra38, Delik Lokika Sanggraha adapun perihal tersebut disebabkan oleh :
- Berawal dari seorang telah menjanjikan kelak di kemudian hari akan mempersuntingnya sebagai istri;
- Sehingga wanita tersebut akhirnya bersedia menyerahkan segalanya sampai terjadi hubungan biologis;
- Dan ternyata kemudian pria tersebut memutuskan hubungan cintanya tanpa alasan yang sah.
Namun dalam perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai korban delik adat Lokika Sanggraha yang juga diatur dalam kitab Adhi Gama tersebut juga dijelaskan :
- yang tidak mau bertanggung jawab dapat diancam dikenakannya sanksi denda 24.000 uang kepeng.
- Perlindungan secara Hukum Adat dengan dikenakannya sanksi adat berupa pemarisudhan atau pecaruan, kasepekang, permintaan maaf kepada pengurus desa, serta melakukan kewajiban yang ditentukan oleh pengurus desa setelah ditentukan kemudian.
- Secara yuridis formal, delik adat Lokika Sanggraha dapat dipidanakan dengan berdasarkan Undang-undang Drt No. 1 Tahun 1951 Pasal 5 ayat (3) b.
- Selain itu, korban dapat juga mengajukan gugatan atas kerugian yang dialaminya secara keperdataan sebagaimana diatur dalam Pasal 1365, 1370, 1371 BW
Namun tetap ada solusi yang cerdas dalam hal Lokika Sanggraha ini,
- untuk dapat menyelamatkan jabang bayi yang tak berdosa ini dan aib sekeluarga,
- bahkan agar dapat mensucikan desa adat yang ikut tercemar (leteh), karena ulah satu orang lelaki,
- yaitu melaksanakan perkawinan dengan simbol purusa.
Ada satu kisah pada perkawinan hindu dengan perawan di sebuah desa di Gianyar, ada seorang pemudi
yang hamil di luar nikah.
- Sayang, yang menghamili tak bertanggung jawab,
- malahan menghindar dengan pergi ke luar daerah.
- Betapa terenyuh hati si wanita ini,
- apalagi kehamilannya terus membesar,
- sedangkan lelaki yang diharapkan mempertanggujawabkan perbuatannya tak juga datang.
Wanita yang
mengandung itu beserta keluarganya sempat kebingungan. Di satu sisi
ingin menyelamatkan jabang bayi yang tak berdosa, makanya tak
digugurkan.
Di lain pihak, bila dibiarkan sampai bayi itu lahir, berarti
harus ada lelaki yang mengawini si wanita hamil ini, sehingga anak yang
lahir nanti sah secara adat maupun agama.
Pernah ada keinginan dari
pihak keluarga untuk ‘meminjam' salah satu keluarga laki agar mau
melangsungkan upacara perkawinan.
Habis upacara si laki tadi tak lagi
ada ikatan tanggung jawab apa pun terhadap si wanita hamil maupun sama
anaknya kelak.
Sayang,
- tak ada keluarganya yang rela melakukan langkah itu,
- hingga akhirnya untuk menghilangkan aib sekaligus tak membuat leteh desa jika anaknya sampai lahir nanti,
- si wanita ini memilih tidak menggugurkan kandungan.
- Dia rela kawin mengikuti kesepakatan keluarga, yakni dengan simbol purusa (berwujud adegan).
Unik, memang. Tapi,
itulah kenyataan yang pernah terjadi di desa tersebut yang akhirnya disahkan dengan dresta (etika yang berlaku di masyarakat bersangkutan) demi untuk menyelamatkan si bayi dan
menghilangkan leteh atau cuntaka di desa dalam perkawinan hindu dengan perawan sebagaimana disebutkan yaitu dengan cara :
- Perkawinan dengan simbol purusa, secara otomatis menghindari tindakan menggugurkan kandungan yang dianggap tindakan sangat berdosa, karena tergolong pembunuhan (brunahatya).
- Menyelamatkan secara sosial karena dengan perkawinan yang menggunakan simbol purusa tersebut,
- anak yang akan lahir kelak mempunyai kedudukan hukum sebagai anak yang sah.
- Artinya, anak itu tidak lagi dianggap lahir di luar nikah.
Tentang
menghilangkan leteh lingkungan desa, dapat dijelaskan sebagai berikut.
- Perkawinan yang disebut disebut wiwaha, dan wiwaha sebenarnya merupakan satu bentuk prayascitta atau penyucian diri.
- Jadi, dengan dilangsungkan perkawinan ini, maka wanita hamil di luar nikah yang sebenarnya menjadi sumber leteh disucikan dengan upacara prayascitta,
- dan bersamaan dengan itu lingkungan desa yang tercemar karena perbuatan asusila warganya,
- juga dianggap bersih atau normal kembali karena telah dilakukan upacara prayascitta.
Jadi, keputusan wanita yang hamil untuk
kawin dengan simbol purusa dan didukung oleh keluarganya adalah pilihan
yang benar.
Selama ini belum ada alternatif lain yang bisa diterima
secara umum. Memang, kadang-kadang ada tawaran dari pihak keluarga, agar
wanita hamil itu menikah dengan salah satu anggota keluarganya secara
simbolis.
- Artinya, setelah nikah lelaki itu bebas dari tanggung jawab.
- Tetapi, hal ini sangat jarang terjadi. Jarangnya pilihan ini dilakukan bukanlah tanpa alasan.
- Sebab, perkawinan itu, baik secara spiritual maupun sosial, mempunyai akibat hukum
- sehingga tidak bisa dilakukan secara berpura-pura.
Ada kalanya pernikahan antara wanita hamil di luar
nikah itu dengan salah satu anggota keluarganya dilakukan secara
sungguh-sungguh.
- Artinya, lelaki yang merupakan keluarganya itu menerima wanita hamil luar nikah itu, sebagai istrinya yang sah,
- sehingga dilangsungkanlah upacara perkawinan yang sebenarnya.
Dalam beberapa
catatan hukum adat di Bali,
- Solusi ini pernah dipilih oleh kalangan yang sangat terbatas.
- Tetapi, karena masih menyisakan masalah-masalah ikutan, atau masih menimbulkan polemik di masyarakat, khususnya tentang status atau kedudukan anak yang akan dilahirkan kelak, maka langkah ini tidak menjadi populer.
Solusi melalui
perkawinan dengan simbol purusa semacam ini, boleh dikatakan jalan
keluar yang sangat cerdas.
Kiranya perlu diingatkan di sini bahwa
dalam kasus lokika sanggraha ini,
- pihak yang selalu menjadi korban adalah kaum wanita dan keluarganya.
- Mereka menerima aib sekeluarga, bahkan desa mereka juga ikut tercemar (leteh),
- karena ulah satu orang lelaki.
- Oleh karena itu, kiranya tidaklah berlebihan jika kita juga ikut mengingatkan para orang tua di Bali, agar sesuai dengan ajaran : aksata yoni,
- yang di Bali dituangkan dalam simbol menusuk tikar daun pandan, yaitu
- menjaga keperawanan putra-putrinya sampai ke jenjang pernikahan.
***