Pulau Dewata

Teringat, ketika jalan-jalan di Pulau Dewata
Pulau Dewata (yang dikenal dengan sebutan pulau seribu pura) adalah sebuah pulau dengan beragam keunikan dan keindahan.

Ibarat kahyangan jagat sebagai tempat stana para dewata yang merupakan manifestasi dari Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, asal mula dari semua yang ada di alam semesta ini.
  • yang selalu diingat untuk tetap dapat dikunjungi 
  • dimanapun kita mau, 
    • sepanjang tempat memberikan kita suatu keheningan 
    • untuk mendapatkan konsentrasi pikiran dan kedamaian.
Kepopuleran pulau Bali bukanlah merupakan sesuatu yang baru sebab dalam cinta Bali tentang meru disebutkan bahwa dari sejak zaman purbakala pulau ini sudah dikenal di manca negara dan dengan berbagai julukan telah diberikan kepada pulau yang memikat ini di antaranya; 
  • “The Last Paradise on Earth“, sorga terakhir di bumi, 
    • dan kebahagiaan di akhirat kelak 
    • Moksartham jagadhita ya ca iti dharma sebagai tujuan hidup manusia di dunia ini.
  • The Morning of the World”, paginya dunia.
    • Dengan kekuatan Surya Chandra untuk menjaga peredaran matahari ini, 
    • semoga juga tetap dapat memancarkan sinarnya pada siang dan malam hari.
  • "The Island of Gods“, pulau dewata.
    • dan hendaknya setiap orang yang berada di pulau dewata ini agar dapat menjaga hubungan yang harmonis melalui konsep Tri Hita Karana 
    • agar seia sepenanggungan (paras - paros salunglung sabayantaka saharpanaya) dalam menjaga keindahan alam ini.
  • The Intresting Peacefull Island”, pulau penuh kedamaian yang sangat mempesona.
    • Dengan salah satu simbol yang dimilikinya yaitu "Saput Poleng", 
    • mengamanatkan kepada kita untuk hidup dalam keberagaman dengan suasana tetap damai penuh kebahagiaan dalam persaudaraan yang sejati.
Begitu juga tentang kemuliaan Gunung Agung yang di Bali disebut juga “To Langkir“(yang menjulang tinggi) atau di dalam bahasa Sanskåta disebut “Udaya Parvata” (gunung yang tinggi)
diyakini sebagai bagian dari pegunungan Mahàmeru (yang pada zaman dahulu juga disebut Sisira Parvata) dan nama ini sudah diungkapkan di dalam susastra Sanskåta Ràmàyana, pada bagian Kiskinda Kànda, karya agung Maharsi Vàlmìki.
Dipercaya dahulu gunung sebagai sthana para dewa dan bila melihat peninggalan purbakala di daerah Goa Gajah dan Pura Gunung Kawi dll, 
maka jelaslah pada zaman dahulu kehidupan keagamaan masyarakat Bali sudah sedemikian mantap.
Tuhan Yang Maha Esa dan para devatà bersthana di kahyangan, alam swah loka yang tempatnya jauh di atas angkasa, “vyomàntara”,
yang oleh masyarakat Bali disebut “luhuring àkàsa“, diiringi oleh para Siddha, Vidyàdhara-Vidyàdharì
Demikian pula masing-masing devatà diyakini memiliki Vàhana (kendaraan) berupa binatang - binatang mitos seperti lembu, singa, angsa, garuda dan lain-lain.
Biasanya pada waktu-waktu upacara seperti piodalan dan upacara lainnya, Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang Widhi dan para devatà serta para leluhur dimohon hadir turun ke dunia untuk bersthana di sthana yang telah disediakan untuk-Nya yang disebut pura sebagai tempat suci dengan aneka nama, jenis serta fungsi dari bangunan palinggihnya. 
Untuk menjaga Bali sebagai pulau dewata menurut nakbalibelog dikatakan bahwa, pulau yang sebagian besar dihuni oleh masyarakat beragama Hindu ini disebutkan telah mampu menata kehidupan Bali dalam segala totalitasnya pada masa lampau. 

Para pemimpin manusia Bali di masa lampau itu benar-benar mampu bersikap terbuka namun selektif. sinergis inovatif dan dedikatif sehingga mampu menerima masukan dari segala penjuru dunia.
"Masukan yang datang dari segala penjuru dunia berhasil dipilah-pilah dan dipilih-pilih terus disinergikan dengan apa yang telah dimiliki". 
Proses inilah yang mampu menghasilkan seni budaya Bali (*seperti halnya artefak-artefak) yang diabdikan untuk memuliakan hidup dan kehidupan ini. Sikap hidup manusia Bali di jaman lampau itulah yang berhasil membangun Bali yang Adi Luhung.
***