Tingkatan Yadnya

Tingkatan Yadnya disebutkan hendaklah dipahami secara kebersamaan sebagai wujud tri hita karana dengan lingkungan.
Nista bukan berarti jelek lho, tetapi intinya saja. Kalo banyak uang sih gak masalah.
Bila pada tingkat keluarga besar ataupun kelompok tertentu, tidak etis rasanya terlalu kecil, sehingga mengambil tingkatan Madya.
Untuk tingkat desa pekraman atau kelompok yang lebih banyak lagi, cocok untuk mengambil tingkat Utama.

Kurangnya pemahaman atas tattwa dan susila terhadap upacara seperti itu sering menimbulkan kebingungan, yang menciptakan perbandingan diri terhadap upacara yang pernah digelar oleh orang lain untuk dijadikan acuan, tanpa mempertimbangkan kemampuan diri.
Ego, masukan-masukan, dan kemampuan finansial semestinya di selaraskan disaat menggelar yadnya. 

Sehingga dalam salah satu kutipan postingan Hindu oleh Dharmayasa disebutkan : 
yadnya/banten yang sering dituduh bahwa yadnya itulah yang mahal.

Terkadang dalam membuat yadnya
Merubah di satu sisi; 
Akan merubah tingkatan upacara, dan secara menyeluruh menjadi berubah. 

Ini sering kali terjadi dan dialami oleh umat secara tidak sadar, yang berujung pada berubahnya standar hidup dan membuat penghakiman dan mengkambing hitamkan yadnya/bebantenan.

Semisal Si A yg sedang menggelar acara ngaben. Untuk mengirit biaya, diputuskanlah tingkatan nista. 
Sulinggih dan serati sudah sepakat dengan yajamana (si A) pada tingkat biaya dan pelaksanaan yang sudah ditentukan.

Singkat cerita di dalam pelaksanaannya, ada salah satu keluarga yang cukup berpengaruh menasehatkan si A "ngaben kok tidak ada wadahnya, kan gak punya rumah, nanti di sorga tinggal dimana ?"
Si A yang kurang pemahaman akhirnya memutuskan untuk membuat wadah, karena merasa kasihan kalau-kalau yg diaben di sorga gak punya rumah.

Didalam pembuatan wadah, entah masukan dari mana sehingga agar wadah/bade kelihatan indah diberi empas/bhadawang nala, naga dan garuda wisnu (istilahnya naik gamet/kapas) yang terbuat dari kapas. 

Dan selesailah wadah yang indah dan memuaskan Si A dan para penolongnya.
Tanpa sadar perbuatan si A sudah membuat sulinggih dan serati menjadi kelabakan. Bagaimanapun juga si A sudah menaikkan sendiri tingkatan upacara yang dulunya nista naik 3 tingkat menjadi madyaning utama yang merubah juga susunan acara dan bertambah banyaknya bebantenan.

Dari sudut wadah saja sudah dapat dibayangkan penambahan biayanya.
Biaya wadah dan pemelaspas yang mestinya tidak ada menjadi ada.
Juga biaya membikin tangga untuk naik ke wadah.
Dengan ditambahnya empas, naga dan garuda wisnu, juga menambah biaya material, pengerjaan dan menambah pula pemelaspas lagi 2 sehingga menjadi 3 pemelaspas.

Yang mestinya tidak menyewa sekaha gender, menjadi nyewa sekaha gender. Manuk dewata, ubes-ubes, kain sangsangan, pekepur dll.
Dan tenaga yang dibutuhkan lebih banyak yang efeknya pada kosumsi.

Dari satu segi saja sudah sedemikian banyak pengembangan biaya yang telah dilakukan si A. Belum lagi dari segi bebantenan dan perlengkapannya yang lain, surya upasaksi menjadi besar munggah catur, bebangkit, pedampingan dll, belum lagi paletan acara yg bertambah panjang penyelesaiannya. Wayang, baris gede....

Sulinggih yang harusnya naik kepewedaan cuma 2x menjadi berkali kali.
aruuuhhhh..........

Dari contoh yg sering terjadi di atas, sekiranya biaya awal yang diprediksi habis Rp sekian... untuk pengabenan udah selesai, kemudian membengkak menjadi hampir 10 x lipat. Siapa yang salah ???
Yajamana, serati atau sulinggihnya ???

Sebab kita juga harus menyadari bahwa sulinggih dan serati mempunyai kode etik atau sasana sendiri di dalam menyelesaikan yadnya harus sesuai dengan tattwa dan susilanya. 
Tidak sembarangan asal tambah dan mengurangi !!! 
Sebab kalau tidak, kutukan bisama sudah menantinya.

Dari contoh kisah nyata tersebut kita bisa mengambil hikmah bahwa NISTA, MADYA, UTAMA, hendaklah dipahami secara kebersamaan sebagai wujud tri hita karana dengan lingkungan. Bukan secara pribadi.

Sebab masing-masing tingkatan sudah mempunyai pakemnya/tatwanya sendiri yang tidak mungkin untuk dirubah. Kalau masalah sarananya yang dibuat lebih kecil sih gak masalah. Yang penting hitungannya/bacakannya genap.
Jika menggelar upacara secara pribadi sebaiknya yang sederhana saja. Yg mengandung intinya saja pada tingkat nista. 

Jadi kalau dipandang secara pribadi bukan pakemnya/tatwanya yang dirubah, tetapi tingkatannya yang diturunkan.

Jadi masalah biaya bisa menjadi seringan-ringannya dengan meguru lacur.

Disisi yang lain di beberapa desa, terjadi persaingan diantara ibu-ibu saat menggelar piodalan di pura atau merajan untuk membuat gebogan.
Saat bikin gebogan tersebut gak mau kecewa dengan yang lain hingga pingin tampil paling wahhhh............... dan paling megah. 
Apalagi disertai jiwa pamer dengan selfi-selfi, cekrek upload sana sini.

Setelah tagihan datang gak bisa bayar terus suaminya bilang :
"Gara gara bikin banten jadi banyak hutang "
Dan kesalahannya berada di mana ???

Jadi menurut mind setnya yang perlu dirubah, bukan pakemnya..
***