Sang Rama

Sang Rama adalah seorang awatara Dewa Wisnu yang dikisahkan dalam epos Ramayana dengan istrinya yang bernama Dewi Sita menjadi rebutan Raja Rahwana sehingga pada zaman dahulu terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat.
Dan berjuang untuk mempertahankan dharma adalah misi hidupnya.
Dalam kisahnya Beliau Sang Rama merupakan putra tertua dari Prabu Dasaratha dari Negeri Kosala.

Namun ketika tiba saatnya Prabu Dasaratha menyerahkan kerajaan kepada Rama, Dewi Kaikeyi sebagai ibu tirinya minta agar Sang Rama dibuang ke hutan, dan agar anaknya, Bharata, dinobatkan menjadi raja.
Maka Prabu Dasaratha sangat menyesal, karena telah menjanjikan hadiah itu tanpa syarat apa pun; tetapi sudah amat terlambat untuk menariknya kembali. 
Kesedihannya atas hal itu mengakibatkan kematiannya.
Dan sepeninggal ayahnya Prabu Dasaratha dan perjuangan Kaikeyi sebagaimana diceritakan;
Pada suatu hari Dewi Kekayi mengunjungi Sang Rama ke tengah hutan,
Lalu Rama ditanyai oleh Kaikeyi, 
“Maafkan aku, ibumu ini yang menyebabkan kesedihan yang melanda Ayodya, lalu apa yang mesti aku lakukan, tanya Dewi Kaikeyi. 
Rama berkata, dengan manis, 
“Semua yang sudah terjadi biarlah terjadi, Tersenyumlah selalu, sebab yang selalu tersenyum ialah Narayana, Tuhan.
Yang menangis adalah nara, manusia. 
Orang yang menangis itu pandir, bodoh
Semua manusia adalah perwujudan atma”.
Rama melanjutkan, 
“Aku akan menjelaskan kepadamu sesuatu yang amat penting. Sekarang ini tingkah laku kita berbeda.
Aku tersenyum, sedangkan engkau menangis:
Tetapi kita berdua bisa sama; apakah Aku menjadi seperti engkau atau engkau menjadi seperti Aku.
Jika Aku menjadi seperti engkau, maka Aku akan menjadi penakut; tetapi ini sama sekali tidak mungkin.
Kelemahan semacam itu tidak mungkin memasuki diri-Ku. Sebaliknya jika engkau menjadi seperti Aku, maka engkau harus mengikuti Aku dan melakukan apa yang Aku katakan.
“Rama anakku, maafkanlah aku, ibu yang bukan bermaksud menyiksamu, namun agar hutang orang tuamu (pitra rna) tidak terbawa untuk kelahiran nanti, maksudku supaya beliau melunasinya saat ini juga, sehingga Prabu Dasaratha bisa mencapai moksha
Lalu, kini apa yang harus aku lakukan.
Sang Rama berkata, 
“Ibu Keikayi, semua badan tidak ubahnya dengan gelembung-gelembung udara. Semua sanak saudara dan teman-temanmu tidak hanya ada sekarang ini tetapi mereka sudah ada pada kelahiran-kelahiran sebelumnya.
Engkau pun sudah ada sebelumnya, dan Aku pun sudah ada pula. Badan/Sarira Kosha, pikiran, dan budi, semua itu alat belaka. 
Tidak ubahnya dengan pakaian yang engkau kenakan; semua itu hanya barang yang engkau ganti sewaktu-waktu.
Mengapa mengikatkan diri kepada semua itu, tergila-gila sehingga engkau menanggung kesedihan dan rasa duka yang tidak perlu? 
Lakukanlah kewajibanmu. Segala kehormatan yang pantas bagimu sebagai ibu akan engkau peroleh; tetapi di medan laga kehidupan tidak ada tempat bagi perasaan kecut dan hati yang lemah. Berjuang untuk mempertahankan dharma adalah misi kehidupan ini.
Dewi Keikayi mengangguk setuju. 
Intinya adalah, kelemahan manusia yang paling besar adalah keraguannya untuk mengatakan pada orang sekitar seberapa besar dia mencintai mereka, ketika mereka masih hidup.
***