Brata Saraswati

Brata Saraswati adalah tidak membaca dan menulis pada saat Hari Raya Saraswati yang bertujuan untuk menjadikan diri kita sendiri sebagai sumber mengalirnya ajaran suci dharma.

Di dalam Lontar Sundarigama, disebutkan tentang Brata Saraswati pada Hari Raya Saraswati.
Bagi orang kebanyakan, hendaknya tidak membaca dan menulis terutama yang menyangkut ajaran dharma dari pagi sampai tengah hari. 
Karena puja kepada Dewi Saraswati dilakukan pada pagi hari atau tengah hari dan disana semua sastra kita muliakan dan dibantenin. 
Bagi orang kebanyakan, 
ini dimaksudkan agar kita mensakralkan ajaran suci dharma. Karena dengan mensakralkan ajaran suci dharma, sama dengan mensakralkan perjalanan spiritual kita sendiri. 
Dan setelah lewat waktu puja di tengah hari, sastra dapat kita ambil kembali dan kita dapat membaca dan menulis. 
Sedangkan pada malam harinya yaitu saat malam sastra, justru sangat dianjurkan melakukan malam pembacaan sastra, diskusi ajaran dharma atau melaksanakan meditasi.
Pada konteks yang mendalam, kepercayaan tradisional itu merupakan ajaran dharma tingkat tinggi. Di dalam Lontar Sundarigama, disebutkan bagi sadhaka yang melaksanakan Brata Saraswati secara penuh, hendaknya tidak membaca dan menulis selama 24 jam sebagaimana dalam ajaran Hindu Dharma, yang disebutkan bahwa :
Pengetahuan dan kebijaksanaan tertinggi adalah pemahaman utuh akan kenyataan diri yang sejati [Atma Jnana / Atma Tattwa]. 
Ketika seseorang memahami secara utuh kenyataan dirinya yang sejati, dengan sendirinya dia akan memahami segala pengetahuan yang sejati. 
Atma tattwa tidak akan pernah dapat dicapai dengan membaca sastra saja, tapi seorang sadhaka harus menyadarinya secara langsung.
Makna dari tidak membaca dan menulis [sastra] selama 24 jam adalah belajar meninggalkan tahap awal dan melangkah ke tahap berikutnya. 
Karena di jalan Atma Tattwa, ada 3 tingkatan pengetahuan. 
  • Tingkat awal adalah membaca dan mendengarkan ajaran suci dharma [sastra],
  • Tingkat menengah adalah perenungan meditatif dan intuitif [menggunakan intuisi] terhadap ajaran suci dharma yang tersembunyi dalam kehidupan dan di alam semesta, ini disebut anthra guru [guru yang ada di dalam diri sendiri]. 
    • Di tahap ini yang lebih dikedepankan adalah pembelajaran meditatif dan intuitif, bukan sastra, karena disini pengetahuan akan dihasilkan dengan sendirinya. 
  • Dan di tingkat puncak adalah samadhi, mengalami secara langsung kesadaran Atma yang terang dalam meditasi.
    • Hanya di tingkatan samadhi maka pikiran, perasaan dan kesadaran bisa menjadi tidak tergoyahkan. 
    • Sehingga tidak saja perkataan dan perbuatan selaras dengan dharma, tapi juga menemukan kenyataan luhur tentang esensi diri ini dan apa kehidupan ini sesungguhnya.
Tidak membaca dan menulis [sastra] selama 24 jam merupakan simbolik ajaran dharma tingkat tinggi, untuk menjadikan diri kita sendiri sebagai sumber mengalirnya ajaran suci dharma. 
Bukan untuk merayakan turunnya Veda bagi manusia, 
membaca habis semuanya, 
kemudian terjebak ke dalam dogma
Dimana pengetahuan yang bertumpuk itu dapat menjadi dogma yang begitu kaku dan dangkal. 
Yang akan lebih berbahaya, jika kita rajin dan semangat membaca sastra, tapi kemudian menggunakannya untuk menghakimi, mengkritisi, merendahkan, memusuhi atau memanipulasi orang lain, sehingga sastra menjadi ular beracun yang mematuk. 
Belajar sastra seperti itu akan membuat nasib kita ibaratnya dipatuk ular beracun.
Di tahap puncak kita melepaskan semua konsep sastra untuk memasuki keheningan. 
Hanya pikiran hening yang memiliki energi luar biasa untuk dapat menyelam ke dasar yang terdalam. 
Kesadaran seperti ini memberikan diri sendiri kesempatan untuk memahami secara utuh tentang keberadaan ini. Hanya pikiran yang hening yang dapat menyimak diri sendiri dan alam semesta secara utuh.
Inilah sesungguhnya yang ditawarkan Mahadewi Saraswati di Hari Raya Saraswati. 
Tidak lagi pengetahuan berdasar sastra secara biasa, tapi menggali pengetahuan rahasia yang tertinggi, pengetahuan yang sudah ada di dalam diri kita sejak awal yang tidak berawal.
Demikian sebagai perenungan diri sebagaimana disebutkan dalam rumah dharma Indonesia sebagai bekal yang baik untuk menjalani hifup ini.
***