Mahisasura

Mahisasura atau (Mahesasura; Mahisa Asura) adalah raksasa yang memiliki kesaktian maha hebat yang dahulu dikisahkan terus mengganggu keharmonisan alam seperti Tri Loka dengan kehebatannya.

Dalam Siwa Purana dan Markandhya Purana (sumber dari Maha Purana) dikemukakan, bahwa 
Bukan hanya dunia ini saja yang rusak dan dihancurkannya, melainkan Siwa Loka dan Wisnu Loka. Juga digempur dan dihancurkan, 
termasuk Sorga-sorga Dewata Nawa Sanga semuanya tidak luput dari gempuran dan pengrusakan Asura Mahisa. 
Menanggapi situasi dan kenyataan seperti itu, Dewata Nawa Sanga menghadap Dewa Siwa di Siwa Loka.
Dalam paruman para Dewa itu, Dewa Siwa dan Dewa Wisnu menugaskan para Dewa untuk mengalahkan Asura Mahisa. 
Untuk itu mereka semua agar memusatkan shaktinya bersama-sama termasuk mengumpulkan senjata masing-masing yang memiliki kekuatan (Shakti).
Para Dewata Nawa Sanga pun mengikuti petunjuk Dewa Siwa dan Dewa Wisnu, dan segera mengumpulkan senjata masing-masing ditaruh di suatu tempat. Mereka bersama-sama pula melakukan yoga semadi
Dari tumpukan senjata para dewa itu keluarlah nyala api yang besar dan terang benderang. 
Dari nyala api keluarlah Candika Dewi atau Dewi Durga dalam wujud Pamurtian yang hebat, bertangan sepuluh.
(Seperti halnya ditunjukan Arca Durga Mahisasura yang keberadaan arcanya di Pura Bukit Darma Kutri)
 Masing-masing memegang senjata-senjata Ayudha Dewata Nawa Sanga itu yakni :
Cakra senjata Wisnu, Trisula senjata Dewa Sambu (Swayambu), Vajra (bajra) senjata Dewa Iswara, Dupa senjata Dewa Maheswara, Danda (Gada) senjata Dewa Brahma, Moksala senjata Dewa Ludra, Naga Pasa senjata Dewa Mahadewa dan Angkus Senjata Dewa Sangkara. 
Tambahan dua senjata lagi, menurut buku Development of Hindu Icography, yaitu Tameng dan Pedang Dewata.
Kemudian Dewi Durga dengan wahana Singa, pergi menghadapi Asura Mahisa. Pertempuran hebat terjadi. Tidak dalam waktu yang lama Dewi Durga mengalahkan Asura Mahisa. 
Tatkala Dewi Durga sebagai Shakti Siwa hendak memenggal leher Asura Mahisa dengan pedang Dewatanya, Asura Mahisa berubah wujud menjadi seekor kerbau.
Maka leher kerbau lalu dipenggal dengan pedang dewata, sehingga terpisah dari badannya.
Kepala kerbau itu lalu dipendam di sebelah utara tegal Kurukshetra oleh Dewi Durga. Sejak mengalahkan Asura Mahisa itu, Dewi Durga juga dinamai Durga Mahisa Suramardhini, yang berarti penakluk atau pembunuh Asura Mahisa. 
Setelah menanam kepala kerbau di bagian utama tegal Kurukshetra, Dewi Durga segera memperbaiki sorga dan dunia yang telah rusak karena gempuran Asura Mahisa. Sorga dan Dunia pun menjadi pulih kembali, dengan kestabilan, keseimbangan dan keharmonisan seperti semula.
Apa yang dapat di simpulkan dari ajaran Pemujaan Shakti atau ajaran filsafat Tantra Vamachara, memang untuk merehabilitir kerusakan dan kehancuran dunia ini, untuk mengharmoniskan, menyelaraskan dan menyeimbangkan sorga dan dunia ini, harus menggunakan dasar Kepala Kerbau. 
Kemudian konsep ajaran filsafat pemujaan shakti dalam Tantra Vamachara ini, dalam pengejawantahan ajaran Kalpa, (tata Upacara) diwujudkan dalam upacara dan upakara Tawur atau Tawur Agung yang memakai korban kerbau. 
Di luar Bali pun upacara menanam kepala kerbau masih dilakukan sebelum membangun sesuatu yang besar.
Demikianlah sumber ajaran filsafat yang disebutkan Made In Suparsa dalam karya mamungkah lan ngenteg linggih yang menjadi latar belakang mengapa justru kerbau digunakan sebagai dasar Tawur atau Tawur Agung. 
Tujuannya disebutkan untuk merehabilitir (menyelaraskan, mengharmoniskan dan menyeimbangkan), Sorga di swah loka dan alam Mayapada dunia ini, yang secara wujud fisik berasal dari unsur-unsur Panca Maha Bhuta.
Termasuk unsur/zat pembentuk badan manusia (sarira kosha) yang keberadaanya juga perlu dinetralisir dan diharmoniskan.
***