Makam

Makam itu juga menjadi simbol bagaimana sebenarnya umat berbeda keyakinan bisa menyatu.
Seperti keberadaan makam Siti Khotijah yang terletak di Setra Desa Pemecutan, Kecamatan Denpasar Barat. Makam keturunan Raja Pemecutan itu dikeramatkan oleh umat Hindu dan juga Muslim yang menjadi salah satu alat pemersatu antara umat Muslim dengan Hindu yang merupakan agama mayoritas masyarakat di Pulau Bali.
Dan sampai kini, kunjungan peziarah dari berbagai daerah di Jawa sangat ramai. Demikian pula dengan warga Hindu yang banyak yang datang kesana. 
Di sana, tidak pernah ada pengakuan bahwa umat Islam atau umat Hindu yang lebih berhak memelihara makam tersebut. Bahkan di makam itu mereka melebur dalam satu belanga dengan dua warna

Sejarah Makam Keramat Agung Pamecutan memang menyimpan sejuta misteri yang belum terungkap dengan jelas. 
Keberadaan makam keramat Putri Raja Badung hingga kini memunculkan tanda tanya seputar kematian sang puteri raja.
Puri Pamecutan yang sejak jaman kerajaan Bali menjadi salah satu kerajaan yang disegani. Selain memiliki kekuatan serta pengaruh besar, juga kehadiran seorang Raja Madura, CAKRANINGRAT IV saat berlangsung pergolakan perebutan kekuasaan Kerajaan di Bali pada awal abad ke XVII. Raja Madura ini dikenal memiliki kharisma serta kekuatan yang dibutuhkan kerajaan Badung. Kekuatan Kerajaan Badung atas bergabungnya Cakraningrat IV ternyata sanggup mengobarkan semangat berjuang Laskar Pamecutan memenangkan pertempuran antar kerajaan di Bali.

Bagian I: Cakraningrat IV Menangkan Sayembara Raja
Tersebutlah seorang raja di Puri Pemecutan yang bergelar I Gusti Ngurah Gede Pemecutan. Salah seorang putri beliau bernama Gusti Ayu Made Rai. Sang putri ketika menginjak dewasa ditimpa penyakit keras dan menahun yakni sakit kuning. Berbagai upaya sudah dilakukan untuk menyembuhkan penyakit tersebut, namun tidak kunjung sembuh pula. Sang raja ketika itu mengheningkan bayu sabda dan idep (Tri Pramana), memohon kehadapan Hyang Kuasa, di merajan puri. 
Dari sana beliau mendapatkan pewisik bahwa Sang Raja hendaknya mengadakan sabda pandita ratu atau sayembara.
Sang raja kemudian mengeluarkan sabda 
“Barang siapa yang bisa menyembuhkan penyakit anak saya, kalau perempuan akan diangkat menjadi anak angkat raja. Kalau laki-laki, kalau memang jodohnya akan dinikahkan dengan putri raja”. Sabda Pandita Ratu tersebut kemudian menyebar ke seluruh jagat dan sampai ke daerah Jawa, yang didengar oleh seorang syeh (guru spiritual ) dari Yogyakarta. Syeh ini mempunyai seorang murid kesayangan yang bernama Pangeran Cakraningrat IV dari Bangkalan Madura. Pangeran kemudian dipanggil oleh gurunya, agar mengikuti sayembara tersebut ke puri Pemecutan Bali. 
Maka berangkatlah Pangeran Cakraningrat ke Bali diiringi oleh empat puluh orang pengikutnya.
Singkat ceritanya, Pangeran Cakraningrat mengikuti sayembara. Dalam sayembara ini banyak Panggeran atau Putra Raja yang ambil bagian dalam sayembara penyembuhan penyakit Raden Ayu. Putra-putra raja tersebut ada dari tanah jawa seperti Metaum Pura, Gegelang, ada dari Tanah Raja Banten dan tidak ketinggalan Putra-putra Raja dari Tanah Bali. Semua mengadu kewisesan atau kesaktiannya masing-masing dalam mengobati penyakit Raden Ayu. 
Segala kesaktian dalam pengobatan sudah dikerahkan seperti ilmu penangkal cetik, desti, ilmu teluh tranjana, ilmu santet, ilmu guna-guna, ilmu bebai, ilmu sihir, jadi semua sudah dikeluarkan oleh para Pangeran atau Putra Raja, tidak mempan mengobati penyakit dan malah penyakit Raden Ayu semakin parah, sehingga raja Pemecutan betul-betul sedih dan panik bagaimana cara mengobati penyakit yang diderita putrinya. Dalam situasi yang sangat mecekam, tiba-tiba muncul seorang pemuda tampan yang tidak lain adalah Pangeran Cakraningrat. 
Setelah Pangeran melakukan sembah sujud kehadapan Raja Pemecutan dan mohon diijinkan ikut sayembara. Raja Pemecutan sangat senang dan gembira menerima kedatangan Pangeran Cakraningrat IV dan mengijinkan mengikuti sayembara. Sang Pangeran minta supaya Raden Ayu ditempatkan di sebuah balai pesamuan Agung atau tempat paruman para Pembesar Kerajaan. Pangeran Cakraningrat mulai melakukan pengobatan dengan merapal mantra-mantra suci, telapak tangannya memancarkan cahaya putih kemudian berbentuk bulatan cahaya yang diarahkan langsung ke tubuh Raden Ayu. Sakit tuan putri dapat disembuhkan secara total oleh Pangeran Cakraningrat.
Kalau jodoh tak akan kemana, begitu pula yang terjadi antara Cakraningrat IV dengan Gusti Ayu Made Rai. Ternyata mereka saling mengagumi dan jatuh cinta saat pertama kali berjumpa. Cinta lokasi di Istan Puri Pamecutan pun terjadi saat proses penyembuhan dilakukan. Atas kesembuhan putrinya, Raja Badung memenuhi janjinya menikahkan kepada pemuda yang sanggup menyembuhkan putri Raja dari penyakit yang diderita. Persiapan pernikahan kedua insan berdarah ningrat inipun digelar meriah di lingkungan Puri Pamecutan.
Sesuai dengan janji sang raja, maka Gusti Ayu Made Rai dinikahkan dengan Pangeran Cakraningrat, ikut ke Bangkalan Madura. Gusti Made Rai pun kemudian mengikuti kepercayaan Sang Pangeran, berganti nama menjadi Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti Khotijah.
Bagian II: Misteri Terbunuhnya Sang Putri Raja
Beberapa hari setelah Gusti Ayu Made Rai pulih, Raja mengundang Cakraningrat IV berbincang serius dengan raja. Ternyata, Raja sudah merencanakan pernikahan mereka. Meskipun Cakraningrat IV adalah seorang muslim, Raja tidak mempermasalahkannya dan tetap memenuhi janji nya. Setelah resmi menikah, Cakraningrat beserta istrinya Gusti Made Ayu Rai yang telah berganti nama menjadi Raden Ayu Siti Khotijah atau Raden Ayu Pamecutan untuk kembali ke Bangkalan untuk dipertemukan dengan keluarga besar Cakraningrat IV di kerajaan Madura Barat. Tentunya kehadiran Siti Khotijah di lingkungan keluarga besar Cakraningrat IV disambut baik. Apalagi sosok Siti Khotijah yang seorang putri Raja Badung memang sangat santun, taat beribadah dan tentunya memiliki kecantikan yang luar biasa.
Sedangkan Cakraningrat IV, kedudukannya sebagai seorang Raja Bangkalan, tidak memungkinkannya untuk meninggalkan takhta kerajaan serta tugas-tugasnya sebagai penguasa.
Di saat bersamaan dan setelah sekian lama di Madura, Raden Ayu merindukan kampung halamannya di Pemecutan dan meminta izin kepada suaminya untuk menghadap sang ayah di Bali. Cakraningrat IV mengizinkan Raden Ayu untuk pulang ke Balibeserta 40 orang pegiring dan pengawal. Cakraningrat IV memberikan bekal berupa guci, keris dan sebuah pusaka berbentuk tusuk konde yang diselipkan di rambut sang putri.
Sesampainya di kerajaan Pamecutan, Siti Khotijah disambut dengan riang gembira. Namun, kala itu tidak ada yang mengetahui bahwa sang putri telah memeluk agama Isalam )menjadi seorang muallaf). Raden Ayu Pamecutan di tempatkan di Taman Istana Monang -Maning Denpasar dengan para dayang-dayang.
Suatu hari ketika ada suatu upacara Meligia atau Nyekah yaitu upacara Atma Wedana yang dilanjutkan dengan Ngelingihan (Menyetanakan) Betara Hyang di Pemerajan (tempat suci keluarga) Puri Pemecutan, Raden Ayu Pemecutan berkunjung ke Puri tempat kelahirannya. Pada suatu hari saat sandikala (menjelang petang) di Puri, Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti Kotijah menjalankan persembahyangan (ibadah sholat maghrib) di Merajan Puri dengan menggunakan Mukena (Krudung). 
Ketika itu salah seorang Patih di Puri melihat hal tersebut. Para patih dan pengawal kerajaan tidak menyadari bahwa Puri telah memeluk islam dan sedang melakukan ibadah sholat. Menurut kepercayaan di Bali, bila seseorang mengenakan pakaian atau jubah serba putih, itu adalah pertanda sedang melepas atau melakukan ritual ilmu hitam (Leak). Hal tersebut dianggap aneh dan dikatakan sebagai penganut aliran ilmu hitam.
Akibat ketidaktahuan pengawal istana, 'keanehan' yang disaksikan di halaman istana membuat pengawal dan patih kerajaan menjadi geram dan melaporakan hal tersebut kepada Raja. Mendengar laporan Ki Patih tersebut, Sang Raja menjadi murka. Ki Patih diperintahkan kemudian untuk membunuh Raden Ayu Siti Khotijah. Raden Ayu Siti Khotijah dibawa ke kuburan areal pemakaman yang luasnya 9 Ha. Sesampai di depan Pura Kepuh Kembar, Raden Ayu berkata kepada patih dan pengiringnya “aku sudah punya firasat sebelumnya mengenai hal ini. Karena ini adalah perintah raja, maka laksanakanlah. Dan perlu kau ketahui bahwa aku ketika itu sedang sholat atau sembahyang menurut kepercayaan Islam, tidak ada maksud jahat apalagi ngeleak.” Demikian kata Siti Khotijah.
Raden Ayu berpesan kepada Sang patih “jangan aku dibunuh dengan menggunakan senjata tajam, karena senjata tajam tak akan membunuhku. Bunuhlah aku dengan menggunakan tusuk konde yang diikat dengan daun sirih serta dililitkan dengan benang tiga warna, merah, putih dan hitam (Tri Datu), tusukkan ke dadaku. Apabila aku sudah mati, maka dari badanku akan keluar asap. Apabila asap tersebut berbau busuk, maka tanamlah aku. Tetapi apabila mengeluarkan bau yang harum, maka buatkanlah aku tempat suci yang disebut kramat”.
Setelah meninggalnya Raden Ayu, bahwa memang betul dari badanya keluar asap dan ternyata bau yang keluar sangatlah harum. Peristiwa itu sangat mengejutkan para patih dan pengawal. Perasaan dari para patih dan pengiringnya menjadi tak menentu, ada yang menangis. Sang raja menjadi sangat menyesal dengan keputusan belia . Jenasah Raden Ayu dimakamkan di tempat tersebut serta dibuatkan tempat suci yang disebut kramat, sesuai dengan permintaan beliau menjelang dibunuh. Untuk merawat makam kramat tersebut, ditunjuklah Gede Sedahan Gelogor yang saat itu menjadi kepala urusan istana di Puri Pemecutan.
Versi lain mengatakan Jika kematian putri raja adalah akibat tebasan pedang milik patih kerajaan saat melihat Siti Kahotijah sedang melaksanakan sholat. Peristiwa pembunuhan terjadi akibat kesalahpahaman di antara patih dan pengawal tentang maraknya ajaran 'pengleakan' yang bertujuan untuk memiliki ilmu hitam yang akan ditujukan kepada lawannya.
Bagian III: Misteri Pohon 'Taru Rambut' di tengah makam.
Setelah sang putri meninggal, maka sesuai wasiat sang putri menjelang kematiannya, yaitu agar apabila tubuhnya mengeluarkan asap yang berbau harum, agar dibuatkan tempat suci (keramat) untuk memakamkannya, maka dibuatkan tempat suci yang disebut kramat bagi sang putri. Untuk merawat makam kramat tersebut, ditunjuklah Gede Sedahan Gelogor yang saat itu menjadi kepala urusan istana di Puri Pemecutan.
Pada suatu hari, dari makam Raden Ayu tumbuh sebuah pohon yang tingginya siktar 50 cm tepat di tengah-tengah kuburan tersebut. Pohon tersebut membuat kuburan engkag atau berbelah. Pohon tersebut dicabut oleh Sedahan Moning, istri dari sedahan Gelogor. Ajaibnya, setiapkali dibersihkan (dicabut) pohon itu kembali tumbuh dan terus membesar. Melihat keganjilan itu, akhirnya penjaga makan Gede Sedahan Gelogor dan istrinya membiarkan pohon itu tumbuh. Menurut penjaga makam yang sekaligus Kepala Istana Kerajaan, saat ia dan istrinya Sedahan Moning sedang besemadi di hadapan makam tersebut, ia diperintahkan atas wasiat Siti Khotijah agar merawat pohon itu sebagai bukti bahwa Siti Khotijah atau Raden Ayun Pamecutan atau Gusti Ayu Made Rai bukanlah orang sembarangan. Pohon tersebut konon tumbuh dari rambut Raden Ayu yang semasa hidupnya memiliki rambut hitam panjang. Sampai sekarang pohon tersebut tumbuh tepat di atas makam tersebut dan disebut 'Taru rambut'. Kini pohon Kepuk itu tumbuh besar dan telah mencapai tinggi 16 meter dan sangat disakralkan oleh warga. Penerus juru kunci, Jero Mangku I Made puger mengakui sering terjadi hal-hal di luar akal sehat selama menjaga makam Keramat Agung Pamecutan. Contoh yang sering terjadi ialah ranting dan dahan pohon sering berjatuhan namun tak pernah menyentuh atap makam. "...ranting atau dahan phon itu hanya berjatuhan di sebelah makam. Seperti ada yang melempar ke sebelah makam...", tutur Jero Mangku.
Konon versi lain terkait kepuk yang tumbuh besar tepat di tengah makam Siti Khotijah merupakan jelmaan sisir atau pendok atau tusuk konde yang dikenakan Siti Khotijah. Pendok itu, atas karomah yang diberikan Allah SWT, berubah wujud menjadi pohon keramat. Keberadaan pohon itu membuktikan bahwa Siti Khotijah atau Raden Ayu Pamecutan memiliki karomah melebihi manusia biasa.

Adapun sebagai bentuk pertanggung jawaban Raja kepada 40 orang pengiring Raden Ayu, Raja memberikan tempat bermukim di daerah Kepaon. Kini kampung Islam Kepaon berkembang pesat dan pewaris Raja Pamecutan selalu hadir pada perayaan hari besar islam. 
Kehadiran keluarga besar Puri Pamecutan sebagai bukti bahwa antara saudara islam kampung Islam Kepaon dengan Puri Pamecutan terjalin ikatan dari pernikahan putri raja badung Gusti Ayu Made Rai (Siti Khotijah atau Raden Ayu Pamecutan) dengan Raja Madura, Cakraningrat IV. Bahkan penguasa Puri Pamecutan, Raja Cokorda Pamecutan IX, SH mengakui bahwa kampung Islam Kepaon merupakan saudara berdasarkan perkawinan keturunan Raja Pemecutan dengan Raja madura, Cakraningrat IV.
Kata seorang peziarahAdhynda Poetry Manunggaling Ilah 
yang dipublikasikan di Fb dikatakan bahwa "Di makam ini, 
aku temukan keteladan wanita Sholikhah 
yg awalnya seorang putri Raja non muslim 
yang mampu mempertahankan keIslamannya 
hingga Nyawa taruhannya....Subhanalloooh...."
Mengenai aci atau upacara yang dipersembahkan di makam kramat tersebut, bahwa odalannya (pujawali) jatuh pada Redite (Minggu) Wuku Pujut, sebagai peringatan hari kelahiran beliau (otonan). 
Persembahan (sesaji) yang dihaturkan adalah mengikuti cara kejawen yakni tumpeng putih kuning, jajan, buah-buahan, lauk pauk, tanpa daging babi.
Demikian diceritakan kisahnya yang dikutip dari permalink septiian di Metro Bali dimana saat ini, disebutkan bahwa makam Keramat Agung Pamecutan tersebut telah mengalami renovasi serta diperluas menjadi 400 m2. Sampai kini, kunjungan peziarah dari berbagai daerah di Jawa, khususnya Madura sangat ramai. Demikian pula dengan warga Hindu banyak yang datang kesana.
***