Babi Butuan

Babi (atau Celeng) butuan adalah sebutan untuk kucit atau anak dari babi asli Bali yang berumur kira-kira satu bulan dan berwarna hitam;
Dan pada umumnya banyak digunakan sebagai hewan kurban dalam upacara mecaru termasuk jenis upacara lainnya.
Pada zaman dahulu, dikatakan bahwa ini merupakan tradisi sakral yang tidak boleh ditiadakan.

Menurut mitos yang dikutip dari media veteriner jenis babi Indonesia ini seperti halnya pada saat Kajeng Kliwon sasih Kenam yang merupakan hari yang sangat sakral.
Rerencangan bhuta kala (antek-antek) Bhatara Dalem Ped yang dipimpin oleh Ratu Gede Mas Mecaling datang untuk membuat huru-hara di setiap banjar di Bali. 
Dan untuk menjinakkan mereka, maka diberikan suguhan berupa kucit butuan.
Hewan kurban harus kucit butuan. Beberapa tahun lalu, warga pernah menggunakan babi putih.

Namun, di tengah-tengah prosesi penyamblehan;
Langit yang awalnya cerah, seketika turun hujan badai dan kilat halilintar menyambar-nyambar setiap pohon yang terdapat di sekeliling warga.
Suasananya sangat mencekam. Terlebih lagi, prosesi itu selalu dilakukan setiap sandyakala (pergantian siang ke malam). 
Makanya tak pernah pakai kucit yang bukan warna hitam.

Diceritakan pada suatu hari dalam acara ngaturang penyambleh di perempatan agung;
Para prajuru desa dan masyarakat akan mempersiapkan upacara keagamaan, berupa bebanten pecaruan yang dibutuhkan pada upacara ngaturan penyambleh. 
Bebantenan ini dipersiapkan oleh masyarakat setempat dengan bergotong-royong dengan arahan dari kelian dan pemongmong pura (pemangku). 
Setelah bebantenan upacara ini dipersiapkan di perempatan agung (atau catus pata), maka kentongan banjar dibunyikan untuk memulai upacara ngaturan penyambleh, beberapa masyarakat akan menuju pura dalem untuk ngemedalan ida sesuwunan bhatara ring (di) Pura Dalem, dan akan kemudian menuju keperempatan agung. 

Acara ini dimulai pada sore hari ketika matahari mulai terbenam.. Prosesi ini akan seperti iring-iringan sampai diperempatan agung disertai gambelan khas bali, sesampai diperempatan agung, upacara yang sudah dipersiapkan akan dipersembahkan oleh pemongmong pura (pemangku) terlebih dahulu disertai japa mantra

Kemudian seorang pemangku akan menarikan se'ekor anak babi dan diikuti oleh bebarapa pemangku lainnya dihadapan ida bhatara yang sedang menari, seakan-akan anak babi ini diperebutkan. 
Teriakan beberapa dari warga yang sudah histeris kerasukan disertai mengerasnya suara gambelan seakan menabah aura magis pada upacara ngaturan penyambleh. dan pada akhir tarian ini, anak babi tersebut disembelih dan darahnya dipercikan menglilingi banten pecaruan
Setelah keadaan mulai tenang kembali, barulah persembahyangan bersama dilaksanakan. Upacara ini akan bermakna menyomiakan bhuta (kala) menjadi dewa, dimana kejelekan pada unsur-unsur bhuta dihilangkan dan agar bisa memberikan keselamatan pada alam semesta beserta isinya.. 
Setelah prosesi upacara diperempatan agung ini selesai, kemudian Ida Bhatara akan melancaran (pergi) ke batas (tanggun) desa, seperti kelod (selatan), kangin (timur), kauh(barat), kaja(utara). setiap sampai di batas desa, masyarakat akan kembali melaksanekan persembahyangan supaya seluruh masyaraktnya bisa mendapatkan keselamatan.
***