Yawakrida

Yawakrida adalah seorang putra dari Rsi Bharadwaja, namun dahulu disebutkan bersifat tamas dengan melakukan seda raga yang sangat berat tanpa didampingi oleh seorang guru, karena hal tersebut dalam Bhagavad Gita 17.16 disebutkan;
Mudha-grahenatmano yat pidaya kriyate tapah, Parasyotsadanartham va tat tamasam udahrtam 
Artinya: Pertapaan yang dilakukan berdasarkan kebodohan, hingga dengan menyiksa diri atau untuk menghancurkan atau menyakiti orang lain dikatakan sebagai pertapaan dalam sifat kebodohan.
Kini diceritakanlah, ayahnya Bharadwaja telah mencurahkan hidup sepenuhnya untuk memuja Tuhan.
Namun Yawakrida merasa iri dan benci melihat para brahmana tidak menghargai ayahnya yang petapa seperti mereka menghormati Raibhya yang ahli kitab Weda.
Tersebutlah dalam BasaBasi Yawakrida untuk melakukan tapa tanpa membuahkan hasil yang melaksanakan tapa brata dengan keras untuk mendapatkan karunia dari Batara Indra. Ia menyiksa diri dengan melakukan mati / seda raga.

Melihat hal itu, Batara Indra pun menjadi iba. Ia mendatangi Yawakrida dan bertanya mengapa ia melakukan hal seperti itu.

Yawakrida menjawab:
“Aku ingin menjadi orang yang paling terpelajar dalam pengetahuan kitab Weda. Aku ingin menjadi mahaguru kitab Weda yang masyhur juga.  
Aku lakukan mati raga yang sedemikian berat untuk mewujudkan keinginan itu. Butuh waktu yang sangat lama dan belajar yang sangat keras untuk bisa mempelajari kitab-kitab Weda dari seorang guru.  
Aku melakukan mati raga ini supaya bisa mendapatkan pengetahuan itu secara langsung, tanpa perlu berguru. Berilah aku restu.”
Batara Indra tersenyum dan berkata:
“Brahmana muda, cara yang kau tempuh keliru. Pulanglah. Carilah seorang guru yang baik dan belajarlah kitab-kitab Weda darinya. 

Menyiksa diri bukanlah cara yang benar untuk belajar. Hanya dengan tekun mempelajari kitab-kitab itu, kau akan menguasai kitab Weda.” 
Setelah berkata demikian, Batara Indra menghilang.

Tetapi, putra Baradwaja itu tidak mengindahkan nasihat Batara Indra. Bahkan ia melakukan penyiksaan diri yang jauh lebih keras lagi sehingga membuat para dewa bersedih dan merasa ngeri. Sekali lagi, Batara Indra menampakkan diri di hadapan Yawakrida dan memperingatkannya:
“Engkau menempuh jalan yang keliru. Hanya melalui belajar secara tekun, engkau bisa menguasai ilmu kitab Weda. 
Ayahmu mempelajari Kitab Weda dengan cara belajar tekun, jika mau engkau juga pasti bisa. Pergilah dan pelajarilah kitab-kitab itu. Berhentilah melakukan mati raga yang sia-sia ini.”
Yawakrida sama sekali tidak mempedulikan peringatan kedua Batara Indra, bahkan ia mengatakan ia akan memotong tubuhnya satu persatu untuk dijadikan sesaji dalam upacara persembahan.
Memang, ia tidak mau menyerah dan ia pun terus menyiksa diri. Suatu pagi, ketika pergi ke Sungai Gangga untuk mandi, ia melihat seorang brahmana tua yang badannya kurus kering melemparkan segenggam pasir ke sungai dengan susah payah.
Yawakrida bertanya: “Pak tua, apa yang engkau lakukan?”

Brahmana tua itu menjawab:
“Aku ingin membangun bendungan yang melintasi sungai ini. Setelah bendungan selesai, orang tidak akan kesulitan lagi untuk menyeberang. Bukankah tidak mudah menyeberang sungai ini? Ini pekerjaan yang mulia bukan?”
Mendengar jawaban itu, Yawakrida tertawa terbahak-bahak. Katanya:
“Bodoh sekali engkau, berpikir bisa membendung arus sungai yang sedemikian perkasa dengan segenggam pasir dari tanganmu yang rapuh. Bangunlah dan carilah pekerjaan yang lebih berguna.”
Brahmana tua itu berkata:
“Apakah pekerjaanmu tidak lebih bodoh daripada pekerjaanku, engkau ingin menguasai kitab-kitab Weda melalui mati / seda raga?”
Barulah Yawakrida sadar bahwa brahmana tua itu adalah Batara Indra. Ia segera menjatuhkan diri dan bersujud. Ia memohon supaya dianugerahi karunia khusus.

Batara Indra mengabulkan permohonan itu dan menghibur Yawakrida dengan kata-kata berikut:
“Baiklah, aku akan memberimu karunia yang engkau minta. Pergilah dan pelajarilah kitab-kitab Weda, engkau akan menguasainya dengan cepat.”
***