Wedanta

Wedanta; (Vedanta, Brahma Sutra) adalah golongan filsafat yang mengakui otoritas kitab Weda dan mendasarkan ajarannya pada Upanisad sebagaimana disebutkan merupakan bagian dari weda smerti.

Shakti Yoga dalam buku vedanta, juga disebutkan berarti jalan pembebasan. Vedanta (Wedanta) dalam sad darsana disebutkan merupakan bagian akhir dari weda sebagai ajaran Utara Mimamsa Vedanda. 
  • Pokok ajaran Vedanta ini membicarakan hubungan antara Tuhan dengan dunia, antara Atma dengan Paramatma. Tokoh pendiri Vedanta adalah Rsi Badrayana.
  • Dalam kitab Bhagavadgita, Vedanta juga disebut sebagai Brahma Sutra. (Sura,1984:13) .
  • Filsafat Adwaita Wedanta juga menyebutkan bahwa, 
    • tidak ada yang setara dengan Brahman, Sang pencipta alam semesta ini.
Alkisah ada seorang rsi besar dan mahaguru kitab Wedanta yang dalam sarwa ajian di Bali diceritakan memiliki seorang murid yang bernama Kagola.
  • Kagola merupakan murid yang berbudi luhur dan berbakti, tapi kurang pandai. 
  • Ia sering menjadi bahan tertawaan murid-murid yang lain. 
Namun demikian, Rsi Uddalaka tertarik pada keluhuran budi, sikap berbakti, dan sikapnya yang baik. Ia ingin menikahkan Kagola dengan putrinya, Sujata.

Sujata dan Kagola dianugerahi seorang putra. Biasanya seorang putra mewarisi sifat-sifat kedua orang tuanya. Tetapi putra Sujata dan Kagola ini justru mewarisi kepandaian kakeknya, Rsi Uddalaka.
  • Sejak dalam kandungan anak ini telah menguasai kitab-kitab Weda. 
  • Ketika Kagola salah mendaraskan kitab Weda, anaknya yang masih dalam kandungan ibunya akan meronta-ronta kesakitan. 
  • Akibatnya, ketika lahir anak itu bungkuk dan memiliki delapan benjolan. Kemudian, anak itu diberi nama Astawakra yang berarti “delapan benjolan”.
Suatu hari Kagola mengikuti lomba penafsiran Wedanta. Ia harus berhadapan dengan Wandi seorang ahli tafsir istana Mithila.
  • Karena kalah dalam perdebatan itu, 
  • ia harus menceburkan diri ke laut. 
Sementara itu, pada usia belasan Astawakra tumbuh menjadi ahli kitab suci yang mumpuni. Pada usia dua puluhan ia telah menyelesaikan belajar kitab-kitab Weda dan Wedanta.

Suatu hari Astawakra mendengar bahwa Janaka, Raja Mithila, akan mengadakan upacara besar. Biasanya dalam upacara besar tersebut para ahli tafsir berkumpul dan memperdebatkan kitab-kitab sastra. Maka, berangkatlah Astawakra ke Mithila ditemani pamannya, Swetaketu.

  • Dalam perjalanan ke Mithila mereka bertemu dengan rombongan raja. 
  • Para pengawal memerintahkan agar orang-orang minggir memberikan jalan kepada raja. Alih-alih minggir, 
    • Astawakra malah berkata dengan berani: 
    • “Wahai pengawal kerajaan, bahkan seorang raja, 
    • jika ia memang bijaksana dan adil, akan memberikan jalan kepada orang buta, cacat, para wanita, pembawa beban berat, dan para brahmana
    • Demikianlah yang diajarkan kitab-kitab suci.”
Raja, yang terkejut dengan kata-kata bijak brahmana muda itu mengakui kebenaran protes itu dan mengalah untuk memberikan jalan kepada mereka.
  • Katanya kepada para pengawal: 
    • “Apa yang dikatakan brahmana itu memang benar. 
    • Api adalah api, entah itu besar atau kecil, tetap saja punya kekuatan membakar.”
Kemudian Astawakra dan Swetaketu masuk ke ruangan upacara namun penjaga gerbang menghentikan mereka.
  • Katanya: “Anak-anak tidak boleh masuk. 
    • Hanya mereka yang benar-benar ahli kitab-kitab Weda diperbolehkan masuk.” 
  • Jawab Astawakra: 
    • “Kami bukan anak-anak sembarangan. 
    • Kami telah menjalani sumpah brahmana dan telah mempelajari kitab-kitab Weda. 
    • Mereka yang telah menguasai kitab-kitab Weda tidak akan menilai orang lain hanya dari penampilan luar atau usia.” 
  • Kata penjaga itu: 
    • “Hentikan omong kosongmu! Bagaimana mungkin engkau, bocah ingusan, telah mempelajari dan menghayati Weda?” 
  • Jawab Astawakra: 
    • “Maksudmu aku ini bogel seperti labu bungkuk yang tidak ada isinya? 
    • Penampilan atau usia bukan ukuran untuk menilai kedalaman pengetahuan seseorang. 
    • Orang tua yang berbadan tinggi besar mungkin saja bodoh dan tidak tahu apa-apa. Biarkan aku masuk.” 
  • Penjaga berkata: 
    • “Engkau masih hijau dan tidak tinggi, meskipun bicaramu seperti orang yang sudah ubanan. 
    • Engkau tetap tidak boleh masuk. Keluar sana!” 
  • Astawakra menjawab: 
    • “Rambut beruban bukanlah cerminan kematangan jiwa seseorang. 
    • Orang yang benar-benar matang adalah orang yang telah mempelajari dan memahami kitab Weda dan Wedanta, menguasai isi dan meresapi ajaran-ajarannya.
Hakekat dari kisah ini, kita tidak bisa menilai kebesaran jiwa orang dari penampilan ragawi atau usia.
***