Guna Timira adalah gelap atau mabuk karena kepandaian dan suka memamerkan kesaktian namun tidak sadar akan ajaran kedharman juga disebutkan dapat menyebabkan manusia tersebut menjadi sangat angkuh.
Sebagai bagian dari sapta timira dimana hal ini patut dihindari, jika masih menginginkan surga, alam swah loka.
Dahulu juga dikisahkan, suatu ketika tatkala hari sukla paksa pananggalan menjelang purnama, dalam babad Manik angkeran berjumpa Dukuh Sakti Belatung dimana sebelumnya beliau bermaksud untuk membersihkan diri dengan mandi di Toya Sah, Besakih.
Setelah membersihkan diri, berkeinginan beliau berjalan-jalan meninjau kawasan Besakih. Lalu terlihat oleh beliau seorang Iaki-laki tua sedang bekerja di ladang, membersihkan padi gaga, membersihkan rumput dan menyiangi.
Orang tua itu bernama Ki Dukuh Belatung yang demikian saktinya, namun tindak-tanduknya bagaikan anak kecil senang dipuji serta senang pamer.
Baru dilihat seseorang datang ke tempat beliau dan menyaksikan beliau bekerja,
- keluarlah keisengannya untuk pamer,
- sengaja berhenti bekerja kemudian menaruh alatnya
- dan melompat duduk di atas alat itu seraya mengambil sirih dan melumatkan sirih itu di atas alat tadi.
Pikir Ki Dukuh ingin supaya yang baru datang menjadi kagum. Namun Sang Bang Manik Angkeran malahan menjadi sangat jengkel melihat aksi pamer Ki Dukuh, karena jelas maksudnya untuk mencoba diri beliau.
Lalu, dihampirinya Ki Dukuh seraya berkata:
"lh Bapak, kalau begini cara Bapak bekerja, sepertinya bermain-main, sebanyak apa yang bisa Bapak hasilkan?".
Lalu berkata Ki Dukuh sedikit gugup:
"Siapa pula anda yang bertanya ? Kok rasanya Bapak tidak jelas tahu?".
Berkata Ida Bang Manik Angkeran:
"Ah saya ini Sang Bang Manik Angkeran, putra beliau Mpu Bekung, namun saya ini sekarang menghamba kepada Ida Bhatara di Pura Besakih, menjadi tukang sapu".
Berkata lagi Ki Dukuh:
"Tidak mengerti saya, kalau demikian halnya. Sebab janggal keberadaan sang brahmana seperti itu. Baru sekarang saya mendengar orang bekung (tak punya anak) memiliki putera. Dan lagi ada brahmana menjadi tukang sapu, kalau tidak anda ini brahmana hina".
Sedikit marah Sang Bang berkata:
"lh Bapak, jangan berbicara sembarangan! Ayah saya memang bekung, namun karena kesaktian beliau, berhasil beliau mengadakan putera. Saya ini memang benar putra seorang Mpu, bukan brahmana hina.
Serta saya berhak diperintah oleh Ida Bhatara, walaupun pekerjaan yang diperintahkan itu menyapu, itu juga pekerjaan utama, kalau sudah Ida Bhatara yang memerintahkan. Sekarang saya balik bertanya. Kakek ini siapa, serta dari golongan apa ?"
Ki Dukuh kemudian berkata:
"Saya ini bernama Ki Dukuh Belatung, sebagai penua di desa Bukcabe, namun saya membuat tempat tinggal di sini".
Berkata lagi Sang Bang, masih perasaannya jengkel:
"lh Bapak Dukuh, saya bertanya lagi, Itu ada sampah bertimbun akan Bapak bagaimanakan? Tidak akan Bapak bersihkan ? "
"Akan saya bersihkan !", jawab ki dukuh.
"Bagaimana cara Bapak membersihkan ?", tanya Sang Bang kembali.
"Akan saya bakar !", kembali ki dukuh menyahut.
"Apa yang akan Bapak pakai membakar ?", tanya Sang Bang kembali.
"Wah, ini benar-benar brahmana aneh". Ki Dukuh menjawab agak marah, apa lagi dipakai membakar, kalau bukan api.
Lalu kalau Ida Bagus apa yang dipakai membakar ?".
"Wah" demikian Sang Bang menjawab seperti mencibir, "
Kalau Bapak Dukuh masih membakar sampah dengan memakai prakpak daun kelapa kering jelas tidak benar Bapak Dukuh tahu dengan falsafah Tri Agni, yang berada di dalam diri sebenarnya.
Kalau saya, melalui air kencing saya saja sampah ini akan terbakar tidak bersisa"
Tatkala didengarnya kata Ida Sang Bang demikian itu, menjadi terhenyak Dukuh, berdiam diri, seraya lama termenung, kemudian menghaturkan sembah
"Singgih, Ratu Sang Bang, kalau benar seperti perkataan l Ratu, bisa membakar sampah ini dengan air kencing l Ratu, hamba akan menghaturkan diri, serta semua milik hamba beserta rakyat, serta pula anak hamba akan hamba serahkan semuanya kepada Cokor I Ratu"
Usai Sang Bang mendengar hatur Ki Dukuh, menjadi pulih kembali perasaan beliau. Lalu beliau berkata perlahan:
"Nah, kalau benar seperti perkataan Bapak saya akan memperlihatkan bukti. Namun agar semuanya sanggup datang dan hadir serta disaksikan oleh Ida Sanghyang Triyodasa Saksi".
"Jangan sekali-kali l Ratu ragu. Memang dari lubuk hati hamba yang ikhlas tidak akan ingkar dengan janji". Demikian hatur Ki Dukuh.
"Nah, kalau begitu, ke sana Bapak pulang, beritahu sanak keluarga serta rakyat Bapak agar datang manakala saya memberikan bukti di hadapan Bapak".
Demikian perjanjian Ida Sang Bang Manik Angkeran dimulai.
Setelah selesai janji itu, Ki Dukuh lalu memberitahukan kepada anak, isteri serta keluarganya;
Perihal janjinya kepada Ida Bang Manik Angkeran, serta imbalan yang dimasukkan ke dalam janji itu sebagai taruhan. Yang mendengar semuanya sama-sama paham di dalam hatinya menjadi taruhan.
Tersebutlah pada hari yang telah disepakati, pagi - pagi hari Ida Sang Bang sudah membersihkan diri dengan mandi di Tirtha Mas, serta kemudian melakukan yoga samadhi memuja Sanghyang Agni agar memberikan anugrah.
Setelah melakukan yoga dan samadhi, lalu beliau berjalan menuju tempat tinggal Ki Dukuh.
Setelah dekat dengan tempat Ki Dukuh, nampaknya semuanya lengkap hadir, Ki Dukuh dengan isterinya, keduanya memakai pakaian putih-putih, ditemani dengan anak dan kerabatnya, hanya tinggal menunggu kedatangan Ida Sang Bang.
Setelah tepat benar matahari di atas kepala, lalu beliau menuju tempat sampah yang bertimbun, di sana beliau mengheningkan cipta-mamusti, menyatukan pikirannya, menegakkan keteguhan batin Iaksana Gunung Mahameru.
Tidak berapa lama, matang sudah yoga beliau, seraya mengeluarkan air kencing di sampah itu. Dan sekejap air kencing itu menjadi api yang menyala-nyala, berkobar. Terbakar semua sampah kebun di tempat itu, hampir-hampir terbakar seluruh hutan di sana.
Keadaan itu dilihat oleh Ki Dukuh serta semua iringannya, sangat kagum mereka pada kesaktian Ida Sang Bang.
Ki Dukuh merasa kalah, namun sekaligus merasa untung, karena merasa mendapatkan jalan baik untuk pulang ke Sorga Loka. Tatkala api itu berkobar. saat itu pula Ida Sang Bang Manik Angkeran membelokkan ujung api itu ke arah timur laut. Lalu beliau berkata kepada Ki Dukuh:"Bapak Dukuh, saya memberi bekal Bapak dengan ganten. Turuti asap itu ke arah timur laut"
Saat itu Ki Dukuh menemukan jalan baik seraya melihat ada Meru bertingkat 11 (sebelas). Ki Dukuh menuju api itu serta mengheningkan cipta dengan sikap angeranasika mengheningkan cipta dengan melihat hidung, lalu beliau melompat ke tengah-tengah api yang sedang memuncak kobarannya itu.
- Ki Dukuh naik moksa seiring dengan asap yang mengepul tinggi itu serta kemudian tidak nampak lagi.
- Keadaan itu diikuti oleh isteri Ki Dukuh yang memakai kerudung dan berkain putih, kemudian mamusti, selanjutnya melompat juga ke api;
- Sebagai tanda setia bhakti kepada suami serta berkeinginan juga menemui jalan terbaik menuju Sorga.
- Beliau berdua pulang ke Nirwana, melalui Jalan ke Sorga Loka yang utama, serta Juga berdasarkan sasupatan - penyucian oleh Ida Bang Manik Angkeran, yang telah menjadi pendeta yang bijak.
Lama kelamaan tempat Ida Sang Bang Manik Angkeran bersengketa dengan Ki Dukuh Sakti itu dinamai Gumawang.
Sekarang diceriterakan yang masih hidup.
Sesudah Ki Dukuh Sakti meninggal, semua milik Ki Dukuh serta rakyat se kawasan Desa Bukcabe, diserahkan kepada lda Sang Bang, termasuk putri beliau yang merupakan seorang dara yang bijak, cantik tiada bandingnya, bernama Ni Luh Warsiki.
Karena beliau itu sama-sama saling mencintai, disebabkan yang satunya merupakan seorang jejaka yang tampan bersanding dengan seorang dara yang jelita. Kemudian diselenggarakan Upacara Perkawinan.
Setelah upacara selesai, lalu keduanya kembali ke Pasraman di Besakih. Sesampai di Tegehing Munduk-tempat ketinggian,
Ni Luh Warsiki menoleh ke tempat bekas sampah dibakar, terhenyak beliau, lalu menangis, teringat akan ayah ibunya yang sudah berpulang.
Beliau tidak mau melanjutkan perjalanan sebelum pulih perasaan beliau. Rakyat beliau kemudian membuatkan tempat beristirahat di sana. Lama kelamaan tempat itu dikenal dengan nama Munduk Jengis.
Diceriterakan kemudian rakyat semuanya sangat gembira pada perasaan mereka, disebabkan sekarang mereka memiliki pujaan yang tampan serta sakti, pintar, bijaksana serta dibya caksu, memiliki kesaktian bisa melihat kejadian tanpa hadir langsung.
Setelah lama beliau berdua bersuami isteri saling mencintai, saling mengasihi maka lahirlah seorang putra Iaki-laki, rupanya tampan serta memiliki prabawa yang agung dinamai Ida Wang Bang Banyak Wide.
***