Di Bali, hari Kajeng Kliwon dikenal sebagai hari pertemuan tri wara “kajeng” dengan Pancawara “kliwon”. Datangnya setiap 15 hari sekali. Kajeng Kliwon adalah hari payogan Sang Hyang Durga Dewi / Bhatari Durga diiringi oleh para bala – bala, rencang - rencang beliau yakni “sarwa buta kala”.
Pada hari Kajeng Kliwon, umat sedharma biasanya melaksanakan prakerti menghaturkan canang wangi – wangian, pengayatan ditujukan kehadapan Hyang Durga Dewi.
Sedangkan di natar sanggah, natar pekarangan dan di lebuh, dihaturkan “segehan” tetabuhan arak berem, ditujukan kepada Sang Tiga Bhucari (Bhuta Bucari, Kala Bucari, Durga Bucari), Sang Adi Kala / Sang Bhuta Raja, dan para bala-balanya yang merupakan para pengiring Hyang Durga Dewi.
Pada hari Kajeng Kliwon, umat Hindu Bali ngastawa serta menghaturkan sembah bakti kehadapan Hyang Durga Dewi memohon kerahayuan.
Apabila tak pernah menghaturkan segehan, maka Sang Tiga Bhucari akan meminta ijin kepada Hyang Durga Dewi untuk “ngrebeda” mengganggu para penghuni rumah.
Rumah dan pekarangan menjadi tak terberkati, suwung mangmung.
Penghuni rumah menjadi tak nyaman, pikiran kalut, sering sakit, sering mengalami hal aneh, mudah marah, sering salah lihat, sering salah dengar yang menyebabkan salah sangka, salah paham, yang kemudian menjadi sumber dari perselisihan dan pertengkaran. dll.
Demikian juga sebaliknya, apabila kita menjalankan prakerti kajeng kliwon sebagaimana mestinya serta dilandasi rasa bakti dan lascarya, astungkara akan mendapatkan anugrah kerahayuan dari Hyang Durga Dewi, serta selalu akan mendapatkan kawalan perlindungan dari Sang Tiga Bucari.
Demikian dikutip dari penjelasan Ki Buyut Dalu dalam salah satu artikel Hindu di fb.
***