Sumedang maknanya adalah gaib, niskala.Intinya, pola pengabenan Shiva Sumedang itu dilakukan secara ngelanus - artinya sehari selesai bahkan bisa dituntaskan (puput 5 jam).
Dari persiapan ngeringkes di rumah, kemudian memprosesi badan wadah dengan ngaben di setra - menyucikan jiwa dari segala papa, klesa menjadi atma yang murni kembali ke Sangkan Paraning Dumadi dengan sebelumnya dilakukan ngeroras di Segara yang ada Gunung.
Namun sengaja dipilih tempat suci yang ada segara dan gunung dalam posisi menyatu. Seperti di Pura Goa Lawah atau Pura Uluwatu.
Setelah ritual Nyegara Gunung itu tuntas, selanjutnya balik ke rumah sang lampus, dilakukan ritual Ngelinggihang menjadi Dewa Pitara di Rong Tiga Kemulan, Mrajan genah rumah sang lampus sebelumnya.
Nah.. demikian dijelaskan oleh Giriramananda Acharyareshi yang dirangkum “Semiloka Nasional - Seminar dan Loka Karya Shiva Sumedang , Sebuah Pilihan Bagi Umat Hindu” Semiloka Nasional digelar Yayasan Veda Poshana Ashram Pusat dengan bekerjasama dengan Swargashanti dan juga Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI ) Provinsi Bali.
Shiva Sumedang sebagai salah satu dari 12 metode pengabenan tradisional yang mengadopsi “Lontar Local Genius Bali”.
Pilihan pengabenan Shiva Sumedang ini di zaman now , sejatinya keputusan yang bijaksana, di tengah pengaruh kaum milineal, era 4.0 yang masif, dimana menuntut laku serba praktis, efektif dan efisien.
Atas tuntutan itu mau tidak mau ada suatu motivasi melakukan suatu inovasi yang dikreasi berlandaskan plutuk basic dengan tanpa mengurangi esensi, hakekat mekanisme tatanan local genius Bali yang sudah diadopsi menjadi tradisi secara turun temurun itu.
***