Belasungkawa

Belasungkawa adalah sebuah ungkapan sebagai cetusan perasaan ikut merasakan atas sebuah kematian keluarga, rekan, kerabat, sahabat ataupun siapa saja yang meninggal dunia. (seperti diucapkan Turut Berbelasungkawa).
  • Tradisi Megebagan di rumah orang meninggal di Bali dilandasi oleh rasa saling menyayangi diantara warga, sekaligus menunjukkan rasa belasungkawa secara nyata bagi keluarga yang berduka.
  • Ungkapan belasungkawa dengan harapan agar sang atman nantinya dapat moksha yaitu dengan mengucapkan :
  • "Dumogi Amor Ring Acintya";
    Artinya : Semoga mendapatkan kebahagiaan, kedamaian abadi, manunggal dan bersatu kembali pada Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa.
Orang-orang akan bertanya, apa bedanya DUKA CITA dan BELASUNGKAWA?
Seperti dikutip dari pernyataan Ikatan Cendikiawan Hindu NTB dikatakan bahwa
Belasungkawa berasal dari kata “Bela” yang berarti menolong + “Sungkan” yang berarti sakit, atau susah +akhiran “Wan”, seperti kata-kata ilmuwan yang berarti orang berilmu, budayawan yang berarti orang yang paham dan perduli akan budaya, dengkian juga dengan Bela+sungkan+wan yang dapat diartikan sebagai “ Membantu orang yang sedang dalam kesusahan”.
Seperti halnya ikut berpartisipasi dalam memberikan keringanan dalam bentuk patis krama adat banjar. 
Kalau kita mengucapkan “Turut BERBELASUNGKAWA terhadap meninggalnya.... “ artinya kita turut membantu meringankan kesusahan kerabat yang ditinggal meninggal oleh sang Seda tersebut. Apa yang dapat kita bela/bantu?
Biasanya kerabat orang yang meninggal akan sibuk melakukan persiapan melakukan proses sawa preteka atau proses upacara Nyiraman layon, mendem layon ataupun melakukan kremasi dan bahkan persiapan pengabenanan atau pelebon. Tentunya dengan kondisi tersebut kerabat sang seda (atau yang ditinggalkan) akan repot dan sibuk, disanalah kita turut berbelasungkawa alias memberikan bantuan terhadap orang yang lagi kesusahan / sibuk.
Kalau kita sempat melihat bagaimana orang bali menggusung layon (jenazah) ke setra, maka akan kita dapati sorak sorai yang gemuruh... tidak sedikitpun terlihat sedih, bila kebetulan jalan harus menyebrang sungai kecil maka akan saling siram diantara pemikul layon (jenasah) atau megobagan, bersorak penuh kegembiraan. Bila para pemikul kebetulan mencapai perempatan jalan (catus pata), maka pasukan pemikul akan berputar pradaksina, mengindikasikan perjalanan sang Atma menuju asalnya. 
Semuanya tidak dalam nuansa kesedihan.
Seyogyanyalah orang Hindu tidak lagi berduka terhadap kematian. Mari sama-sama menyadari bahwa kita bukanlah mahluk phisik yang mendapatkan fenomena spiritual, tetapi sebaliknya, kita ini adalah mahluk spiritual (Jiwa) yang mendapat fenomena phisik.
***