Tikus adalah "Bikul" dalam bahasa Balinya atau juga disebut "Jero Ketut" dan entah kenapa binatang ini diberikan sebutan terhormat seperti itu.
Konon diceritakan juga, tersebutlah dahulu ada seekor tikus emas dalam kisah mahabharata dimana sehabis perang Bharatayudha diceritakan para putra Pandawa akan mengadakan upacara dalam tingkatan yang utama
Dahulu, tentang akan dilangsungkannya upacara besar itu segera menjadi bahan perbincangan hangat masyarakat Indraprasta maupun Astinapura.
Demikianlah disebutkan Panca Yadnya Hindu Dharma oleh dharmathebackbone, dimana-mana para patih dan pejabat tinggi kerajaan yang lain asyik memperbincangkan keagungan upacara tersebut.
Mereka amat bangga dan menyebutkan bahwa tidak akan ada upacara yajña yang seagung Aswameda yajña.
Namun sedang bangga-bangganya mereka membahas yajña yang amat megah dan mewah itu. Tiba-tiba muncul seekor tikus.
Tikus itu dengan nada sinis mengatakan bahwa :
"Aswameda yajña yang akan diselenggarakan Pandawa itu tidak akan mampu menyaingi kehebatan yajña agung yang pernah disaksikan beberapa waktu yang silam, juga di Kurukshetra."
Tikus yang nyeletuk di tengah-tengah perbincangan para patih merupakan tikus unik, karena sebagian tubuhnya berwarna kuning keemasan.
Mendengar penjelasan tikus yang berbulu emas itu, para Patih pandawa menjadi kaget. Betapa tidak. Selama ini mereka tidak pernah mendengar ada Upacara yajña di Kurukshetra, apalagi yajña yang maha agung yang mengalahkan kemegahan dan keagungan Aswameda Yajña yang diselenggarakan Pandawa.
Dengan suara jelas dan tenang, tikus berbulu emas itu melanjutkan ceritanya. Para Patih dan masyarakat yang kebetulan ada disana mendengar cerita tikus itu dengan penuh perhatian dan terheran-heran.
Tikus yang berbulu emas ltu menceritakan bahwa beberapa bulan yang lalu ada empat brahmana yang hidupnya sangat miskin harta benda.
Keempat brahmana itu terdiri dari seorang ayah dan istrinya serta seorang anak dan menantunya. Keempat brahmana itu sepanjang hari hanya hidup dari mencari sisa-sisa panen padi atau jagung.
Pagi-pagi buta, ketika fajar baru menyingsing diufuk timur, keempat brahmana itu sudah pergi mencari sejumput jagung. Mereka baru pulang ketika mentari sudah terbenam ke tempat peraduannya.
Begitulah setiap hari, brahmana itu hanya mengandalkan sisa-sisa panen untuk mengisi perutnya yang ramping. Keempat brahmana itulah yang menggelar yajha agung di Kurukshetra dengan sarana sejumput tepung jagung.
Hanya dengan sejumput tepung jagung sudah bisa menggelar yajña agung? Tanpa memberi kesempatan pendengarnya berkomentar, Tikus yang aneh bin ajaib itu menuturkan kisah brahmana tadi lebih lengkap.
Pada suatu hari, keempat brahmana itu mencari sisa-sisa panen jagung yang baru kemarinnya dipetik oleh pemilik kebun. Petani jagung itu rupanya sangat cermat memanen jagungnya, sehingga hampir tidak ada jagung yang masih menempel di batangnya.
"Namun keempat brahmana itu akhirnya mendapat juga memungut sisa-sisa jagung yang sudah dipanen. Tentu saja jumlahnya amat sedikit. Setelah di tumbuk, jadilah sejumput tepung."
Tepung itu kemudian dimasak jadi bubur lalu dibagi rata. Sebelum menikmati bubur jagung itu, tidak lupa pula mereka berdoa kepada. Tuhan Yang Maha Pemurah atas AnugrahNya.
Begitu keempat brahmana tadi akan menikmati bubur, datanglah seorang brahmana tua, badannya kurus kering. hanya kulit yang membalut tulang. Brahmana itu mengaku sangat lapar dan menderita sakit.
Mengaku sudah lama tidak makan, Brahmana itu memohon bantuan kepada keempat brahmana yang miskin tadi, sudi kiranya diberi makanan untuk mengobati sakitnya.
Keempat Brahmana miskin itu dengan penuh keikhlasan dan penuh kasih, menyodorkan bubur jagung yang sebenarnya sudah siap dimakan.
Begitu bubur jagung diserahkan, sebagian makanan itu jatuh dan kebetulan menimpa seekor tikus yang sedang berada dibawahnya, karena ketulusikhlasan yang demikian tinggi melatar belakangi persembahan itu maka tubuh tikus yang terkena tepung jagung tadi menjadi emas seketika.
Setelah menikmati bubur jagung tersebut, maka brahmana itu sembuhlah dari penyakitnya dan selanjutnya menghilang.
Kemudian terdengarlah suara gaib, bahwa berkat keagungan yajña itu, maka keempat brahmana miskin tadi mendapat tempat yang utama di sorga.
Suara gaib itu tidak lain dari sabda Dewa Siva. Beliaulah yang menjelma menjadi brahmana sakit kelaparan untuk menguji keempat brahmana miskin tadi. Demikianlah ukuran yajña yang agung.
Keagungan yajña dalam bentuk persembahan bukan diukur dari besar dan megahnya bentuk upacara, tetapi yang paling penting adalah kesucian dan ketulusikhlasan dari orang-orang yang terlibat melakukan yajña.
Setelah tikus berkulit emas selesai menjelaskan yajña agung di Kurukshetra itu, barulah patih Panca Pandawa memahami betul arti keagungan suatu yajña. Letak keagungannya adalah pada keikhlasan.
***