Bikul

Bikul adalah tikus dalam bahasa Balinya.

Dimana di daerah ini, ada sebuah kepercayaan yang mengatakan bahwa tikus-tikus itu datang merusak tanaman padi petani karena ada yang memerintahkan.
Dalam hal ini bukan tikus yang salah, melainkan petani yang kurang melaksanakan ritual
Para petani percaya, bahwa tikus-tikus itu tidak akan habis hanya oleh festisida ataupun racun tikus, tapi harus disertai dengan ritual tertentu.

Wujud ritual untuk mengusir atau menolak tikus ada bermacam-macam. 
Salah satu contohnya adalah dengan menghaturkan canang, nasi merah dibungkus daun dapdap, dengan tempat batok kelapa ditempatkan di pojok-pojok sawah.
Masing-masing ritual ini memiliki makna: 
  • Canang sebagai lambang Tuhan dalam wujud Tri Murthi, yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa. 
  • Nasi yang berwarna merah yang ditaruh di setiap pojok sawah dimaksudkan sebagai suguhan kepada penjaga empat penjuru arah, masing-masing: Sri Raksa di timur laut, Sang Aji Raksa di tenggara, Sang Ludra Raksa di barat daya dan Kala Raksa di barat laut.
Jadi ritual penolak tikus itu dilaksanakan oleh petani dengan niat atau pikiran yang suci memohon kepada Tuhan sebagai Tri Murthi dan manifestasiNya, agar memperoleh keberhasilan atau selamat dari gangguan hama tikus. 

Ritual nulak bikul ini dilaksanakan di bedugul dan di sawah. Berikut saa atau mantra yang digunakan dalam ritual nulak bikul:
“Om sang meng putih, ula putih,
Lamun wani Ki Tikus Putih,
Tumoning Meng Putih, Ula Putih,
Wani Ki Tikus Putih amangan Bhatari Sri,
Lamun tan wani Ki Tikus Putih,
Tumoning Meng Putih, Ula Putih,
Tan wani Ki Tikus Putih,
Hamangan Bhatara Sri,
Cangkem sira bungkem”
Demikian dijelaskan dalam kutipan Majalah Raditya terkait pelaksanaan ritual marekang toya dan nulak bikul sebagai ritual keselamatan untuk di sawah.
***