Krama Tamiu adalah orang-orang atau warga pendatang yang hadir di Bali, baik untuk menetap atau sekadar datang untuk sementara (musiman) karena melakukan suatu aktivitas dan perjalanan.
Dan walau orang lain tetapi bermaksud baik yang di Bali disbutkan akan dianggap sebagai nyama / keluarga.
Pada umumnya ketika hari raya, karena sekian banyaknya orang jawa mudik, biasanya membuat kota Denpasar sebagai jantungnya perekonomian masyarakat Bali juga terkena imbas.
Tampak adanya kelesuan aktivitas ketika mudik itu berlangsung. Ditambah lagi dengan masyarakat kota Denpasar yang beragama Hindu yang berasal dari desa-desa di Bali juga ikut mudik karena liburan, maka lengkaplah sudah kelesuan itu terjadi.Di Bali dalam bentuk awig-awig desa pakraman dalam mengatur krama tamiu ini disebutkan bertujuan untuk dapat :
- Mewujudkan hubungan yang harmonis antara sesama manusia yang bertempat tinggal sama dalam suatu desa melalui awig-awig sebagai anggota desa atau Krama Tamiu dan membina hubungan yang harmonis dengan alam lingkungan dalam wilayah yang sama yakni wilayah Desa Pakraman yaitu dengan pemeliharaan bersama desa, fasilitas desa dan Banjar masing-masing dengan baik dengan Parareman atau Pasangkepan rutin.
- Dengan demikian Tri Hita Karana, yang menyebabkan kehidupan yang harmonis antara sesama warga Desa Pakraman untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup yang merupakan landasan bagi Desa Pakraman, terhadap adanya kesatuan pandangan dalam kehidupan bermasyarakat di Bali.
Dahulu kala juga diceritakan, Warga Putih Mayong memandang diri mereka sebagai kaum ‘pendatang’ di Bali, atau dengan kata lain bukan orang Bali asli yang dalam perbedaan konsep Hindu Dalem Waturenggong dengan Hindu Putih Mayong sebagaimana dijelaskan :
Bahwa, mereka dahulu juga membawa tradisi-tradisi beragama seperti halnya Hindu dari Jawa Timur, khususnya dari Madura.
Banyak persamaan tradisi-tradisi itu yang kini bisa dilihat masih diadakan di Jawa Timur, mirip dengan tradisi yang dilakukan warga Putih Mayong di Buleleng.
Untuk keperluan Pendeta, karena di Bali tidak ada Pendeta Putih Mayong, maka mereka menggunakan tetua (Jero Mangku) untuk muput upacara-upacara, dengan memohon tirta di Sanggah Pamerajan, yaitu di palinggih ‘Siwa’.
Oleh karena itu warga Putih Mayong dikatakan ‘mesiwa raga’ artinya, menggunakan tirta dari usaha sendiri memohon kepada Bhatara Siwa. Untuk warga lain biasanya menggunakan tirta yang dimohonkan oleh pendeta atau para sulinggih.
Namun demikian, karena sudah berabad-abad hidup bercampur dengan masyarakat Bali, maka perbedaan-perbedaan tradisi beragama semakin kurang, dan sekarang banyak sekali warga Putih Mayong sudah menggunakan pendeta Hindu seperti warga yang lain.Kisah-kisah krama tamiu di Bali;
- Bercita-cita untuk memiliki sebuah impian dan masa depan yang indah dirantauan, namun karena suata keadaan, mengharuskan mereka untuk pulang (mulih) dan mencari harapan baru.
***