Mudik

Mudik artinya pulang kampung mengunjungi sanak famili ketika hari raya untuk mohon maaf dan mohon restu kehadapan orang tua.
Sebuah warisan budaya Hindu Nusantara masa lampau yang di Jawa disebut dengan sungkem, kalau dalam bahasa Balinya disebut dengan mesimakrama. 
Hal ini sebagai cerminan dari manusia yang tak melupakan tanah kelahirannya, tak melupakan asalnya, atau dalam bahasa Bali disebut dengan "Inget tekening rerama tur inget teken kawitan" (ingat dengan orang tua dan ingat dengan asal). 
Entah yang mana dominan dari kedua aspek tersebut, (ekonomi dan budaya), yang jelas mudik menjadi semakin ngetren setiap tahun.
Mudik Memang rame di daerah Jawa dan semakin ngetren ketika semua masyarakat Indonesia ikut-ikutan mudik. Tak ketinggalan masyarakat Bali yang berasal dari Jawa. 
Ketika semuanya mudik. Karena sekian banyaknya masyarakat mudik, membuat kota Denpasar sebagai jantungnya perekonomian masyarakat Bali juga terkena imbas. 
Tampak adanya kelesuan aktivitas ketika mudik itu berlangsung. Ditambah lagi dengan masyarakat kota Denpasar yang beragama Hindu yang berasal dari desa-desa di Bali juga ikut mudik karena liburan, maka lengkaplah sudah kelesuan itu terjadi.

Nah, sekarang bagaimana dengan masyarakat Denpasar yang asli atau yang tak mudik. Kelesuan dan kesepian sangat terasa sekali. 
Kota menjadi sepi, jalan menjadi lebih lengang. 
Anehnya lagi adalah I Made Kuwir tampak mondar-mandir ke sana ke mari di jalan naik sepeda motor. Apa yang dicari?. Ternyata ia sedang mencari dagang makanan seperti bakso, nasi goreng, dll. 
I Made Kuwir berkata, "onye dagange mudik, keweh baane, sing ada dagang apa” (semua dagang mudik, tak ada dagang makanan). 
Hal itu pun didengar oleh I Bonglet yang cinta Bali dan berkata “dagang apa alih cai, to dagang liu" (dagang apa yang kau cari. Dagang banyak).
Demikian dikatakan oleh KandukSuputra, ketika orang jawa pulang kampung, krama Bali kelimpungan yang menjadi fenomena menarik dan semakin menarik di Bali dalam satu dekade terakhir ini.
***