Dharma Yatra

Dharma Yatra (Dharmayatra) artinya perjalanan suci sebagai bagian dari sad dharma yang disertai dengan mengajarkan dharma/agama yang bertujuan untuk dapat :

  • Berhubungan dengan Hyang Suci (Tuhan Yang Maha Esa); dan
  • Menuntun umat manusia untuk dapat mencapai kesejahteraan jasmani dan ketentraman bhatin.

Kegiatan Dharma Yatra ini yang di Bali biasanya dilakukan oleh orang suci yang dipandang mampu atau paham tentang ajaran agama seperti halnya dalam ajaran agama Hindu.

Seperti halnya diceritakan pada zaman dahulu dalam membangun Image Bali sebagai destinasi religius tourism, dimana dikisahkan Dang Hyang Nirarta (Dang Hyang Dwijendra) ketika itu melakukan konsolidasi internal dengan mengatasi :
  • Kelemahan (weakness) tataran sistem sosial, 
  • Sistem religi yang bersifat universal dan sangat kompleks.
  • dan politik keagamaan dan ancaman (threat) ekternal. 
Ia juga melihat peluang (opportunity) untuk memperkuat (strengthen) sendi-sendi keagamaan di Bali, karena sebelum ia melakukan perjalanan dharmayatra ke Bali, 
Bali sudah pernah didatangi oleh Maha Resi Markandeya (756 Masehi) dan para Mpu seperti Mpu Semeru (999 Masehi), Mpu Ghana (1000 Masehi), Mpu Kuturan (1001 Masehi), Mpu Gnijaya (1049). 

Kedatangan mereka ke Bali membawa serta sekta (sampradaya) atau aliran yang dibawa yang telah dipersatukan oleh Mpu Kuturan dengan konsepsi teologi ajaran Siwa-Boddha (Siwa-Sogata). 

Dengan demikian kedatangan Dang Hyang Dwijendra memperkokoh sistem theologi Hindhu Siwa-Boddha (Siwa-Buddha) dengan melakukan asimilasi konsep teologi Tri-Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) kedalam konsep teologi Tri Purusa (Siwa, Sada Siwa dan Maheswara); memperkenalkan bangunan tempat pemujaan disebut Padmasana untuk memuja kebesaran Sanghyang Tri-Purusa. Bangunan (pelinggih) untuk pemujaan TriMurti telah diperkenalkan konsep Bangunan Meru oleh Mpu Kuturan, konsep Desa Pakaraman, Kahyangan Tiga (Desa, Puseh, Dalem), serta konsep merajan (sanggah) sebagai bangunan untuk pemujaan leluhur.

Dan untuk melindungi Pulau Bali dari segala macam ancaman, 
maka Beliau atas persetujuan Raja Gelgel menyusun strategi untuk membentengi pantai-pantai yang mengitari Bali dengan membangun dan merenovasi pura-pura yang sudah ada. 

Selain dengan bangunan Meru sebagai konsep bangunan pelinggih yang diperkenalkan oleh Mpu Kuturan, ia juga memperkenalkan kosepsi bangunan Padmasana sebagai tempat pemujaan kebesaran Tuhan dengan mengasimilasi konsep Tri Murti menjadi Tri Purusa yang menganggungkan kekuasaan Tuhan dalam wujud tiga manifestasi yaitu Siwa, Sada Siwa dan Paramasiwa. 

Konsep yang dipakai untuk melindungi Bali adalah konsepsi Dewata Nawasanga dengan segala kekuasaan, kekuatan Tuhan yang mendiami sembilan penjuru mata angin dengan mendirikan pura sad kahyangan dan dang kahyangan di ke sembilan penjuru tersebut.

Berdasarkan konsepsi Dewatanawasanga tersebut, Dang Hyang Nirarta melakukan perjalanan dharmayatra untuk mendirikan dan merenovasi tempat suci dipesisir pantai Bali agar dapat membentengi Bali dari empat penjuru menjadi sabuk spiritual Bali (the spiritual belt).
***