Pesantian

Pasantian (pesantian) adalah sekaa atau lembaga sebagai wadah belajar menyanyikan atau melantunkan Dharma Gita seperti disebutkan kekawin, kidung dan geguritan yang dalam parisada, mulia pahala melakukan pesantian ini yang perkembangannya dari tahun ke tahun disebutkan semakin berkembang, khususnya di Bali,
pada awalnya kegiatan ini merupakan domain orang-orang tua dan digemari kaum laki-laki. 
Namun, dewasa ini penggemarnya sudah meliputi semua lapisan masyarakat, tua dan muda. Geguritan yang tergolong Sekar Alit umumnya dilantunkan oleh mereka yang gemar pada kesenian Arja.
Sekar Madya dilantunkan saat ada persembahyangan. Kekawin yang tergolong Sekar Agung umumnya digemari oleh sastrawan. Sastra kekawin ini umumnya menggubah Itihasa ke dalam sastra Jawa Kuna.

Melantunkan syair-syair suci Itihasa akan mendapatkan kemuliaan yang disebut phala sloka. Misalnya pembacaan Ramayana untuk memahami kisah Sri Rama dinyatakan dalam Ramayana Valmiki I.1.98-100 bahwa :
barang siapa yang mendalami kisah Ramayana ini akan disucikan dan bebas dari dosa, sama nilainya dengan membaca seluruh isi Veda.
Pendalaman Itihasa ini akan menuntun orang jauh dari dosa. Mereka yag serius mendalami Itihasa ini akan memperoleh umur panjang dan setelah meninggal mencapai sorga bersama keturunannya. 
  • Brahmana akan memproleh kesucian dan kemuliaan, 
  • Ksatriya akan berkuasa dengan baik melayani rakyat, 
  • Waisya akan berbisnis dengan mendapatkan keuntungan yang terhormat dan 
  • Sudra akan mendapatkan kekuatan fisik yang semakin prima. 
Demikian dikatakan dalam Ramayana Valmiki dalam syair berbahasa Sansekerta yang sangat indah.

Dalam Visnu Purana III.11,94 disebutkan setelah makan siang orang jangan bekerja dengan tenaga jasmani yang keras yang dalam daksa Smrti II.68-69 menyatakan setelah makan siang dianjurkan membaca atau mendengarkan pelantunan syair-syair suci Itihasa dan Purana dalam rangka meningkatkan kualitas hidup manusia, membebaskan dari penderitaan, menuntun Atman menuju Sang Pencipta.
Tentunya pahala duniawi dan rohani ini akan didapatkan bagi mereka yang mendalami, melantunkan dan mengamalkan ajaran Itihasa dan Purana itu dengan benar dan baik sesuai dengan swadharma masing-masing.
Dalam Asvalayana Grhyasutra IV.6.6 dinyatakan kalau ada umat yang meninggal dunia sahabat-sahabatnya duduk di sekitar jenazah dan melantunkan syair-syair suci yang terdapat Itihasa dan Purana sebagai doa untuk bekal atman yang meninggal menuju alam niskala. 
Di Bali melantunkan kekawin umumnya dengan metrum atau wirama Girisa saat jenazah dimandikan sebagai ritual formal bagi yang meninggal. Tuntunan ritual ini dinyatakan dalam Lontar Pratekaning Wong Pejah.
Melantunkan syair-syair ini dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra.II.85 yang terdiri atas tiga jenis yaitu : 
  • Vaikari, pelantunan sampai dapat didengar oleh orang di sekitar kita dengan lembut (pahalanya hanya sepuluh).
  • Upamsu, melantunkan syair suci dengan berbisik khusus untuk dapat didengar telinga sendiri (nilainya seratus).
  • Manasa, pelantunan syair suci dalam hati (yang paling utama dengan nilainya seribu).
Melantunkan Gaguritan, Kidung, Kekawin dan Mantra dilakukan secara individu atau ekanta dan dengan bersama-sama disebut Samkirtanam. Melantunkan nyanyian suci itu harus menghasilkan suasana hening dan suci. Apalagi dalam suatu upacara yadnya yang seharusnya menciptakan suasana yang dapat memotivasi tumbuhnya hati yang suci bagi peserta upacara yadnya.
***