Dina Raditya/Redite adalah hari minggu dengan urip saptawara = 5, diayomi oleh Sanghyang Bhaskara/Bhatara Surya. Raditya merupakan matahari yang masuk ke dalam diri manusia, menjadi : kedua mata yang ada di kepala, mata hati, dan mata batin (pandangan pikiran) dimana disebutkan :
- Redite Pangelong 6
- baik untuk melaksanakan upacara Dewa Yadnya.
- Redite Pangelong 8
- baik untuk untuk membuat alat berdagang, tempat berdagang, mulai berjualan karena akan murah rejeki.
Yang menjadi dasar pandangan tersebut, akibat dari mata melihat sesuatu, karena memikirkan, atau merasakan sesuatu.
- Di Bhuwana Agung, matahari merupakan mata dari hari, dan menerangi alam semesta. Sedangkan
- di dalam diri, mata hati yang menjadi suluh bagi Bhuwana alit.
Kelahiran seseorang pada dina Redite, bisa berasal dari titisan/reinkarnasi orang laki-laki menjadi wanita, atau sebaliknya dari wanita bisa jadi laki-laki. Jadi, kelahiran tersebut bisa memiliki dualitas sifat, di mana orangnya cenderung pintar, dan bisa melakukan pekerjaan untuk laki-laki mau pun wanita.
Bicaranya sering goyah, bisa benar atau bisa salah, bisa serius atau bisa cuek. Dewa Indra sebagai Dewa pengayomnya, berarti mempunyai wawasan yang luas. Kayu-nya, kayu putih (kayu obat). Terlahir dina redite, seringkali menjadi korban kerabat mau pun teman seperjuangannya, karena ia sendiri kurang waspada.
Manuk-nya Siyung, artinya mudah meniru kata-kata orang lain. Tutur katanya banyak dipengaruhi oleh lingkungan sekitar mau pun pergaulannya.Kala-nya, Dora Kala, artinya bersikap apatis terlebih dulu sebelum dilakukan pengamatan dengan benar. Bhuta-nya Catuspata, maksudnya kejiwaannya sering seperti berada di persimpangan jalan ; Orang tersebut merasa seperti maju kena mundur kena, sehingga kemajuannya sering terhambat, apalagi kalau sebelumnya pernah tersandung oleh suatu masalah, dia akan mengalami trauma.
Lintang-nya, Tendas marengreng, kelemahannya sering dengan keputusan tidak perduli, mudah putus asa, dan kwalat. Kurang bakti terhadap leluhur (bapak-ibu, kakek-nenek dari salah satunya).
Akan menderita sakit yang berawal dari bentrok dengan keluarga/istri sendiri, kemudian ia akan menderita sakit lemayang lemayung, sakit menahun, sakit kepala, sakit ngibuk (ngancuk-ancuk), susah tidur. Obatnya, kalau menderita sakit kepala, gunakan daun sirih yang muda dengan sedikit maswi (baca, masuwi), lekatkan pada dahi.
Kalau ngibuk karena badan panas, gunakan sirih yang tua/sudah kuning, ditambah gamongan, beras yang sudah direndam, kemudian diolah menjadi boreh dan dioleskan ke seluruh tubuh. Sebagai usug-nya dipakai jenis daun-daunan, seperti daun : awar-awar, dadap, pancersona, empag ; ujung depannya dibakar, lalu diparut terus disadah, sesudah itu bisa dipakai usug pada seluruh tubuh.
Kalau sakitnya tidak mengkhawatirkan seperti sakit ngancuk-ancuk, obatnya : daun juwet, sindrong, diolah menjadi boreh. Pada bagian tulang belakang di-simbuh dengan daun dusakeling, daun jajartanah, temu tis, diramu dengan beras yang sudah direndam, tingkih yang sudah dibakar, bawang metambus pada abu, dan ditambah adas.
Kalau perutnya terasa sakit ngilut-ngilut, dibuatkan loloh babakan pule, babakan dadap, diisi kelapa yang sudah dibakar, dan sarilungid, lalu di-simbuh-kan pada perut. Kalau sakitnya parah sampai menyebabkan si penderita bingung, obatnya : daun dusakeling, pucuk liligundi ini digiling sampai lumat, lalu diperas dan disaring. Aturan pakai : teteskan pada hidung dan mata, demikian disebutkan dalam sapta wara pada wariga.
***