Buduh

Buduh (atau "Gila" dalam bahasa Balinya) yaitu sebuah gangguan atau sakit jiwa yang juga biasanya disebabkan oleh kehilangan akal sehatnya.
  • Adakalanya hal ini disebutkan terjadi pada orang yang kadang bercita-cita tinggi dan agak loba pada sesuatu yang diinginkan namun tidak pernah tercapai yang menurut Whraspati disebutkan oleh karena ia tidak pernah belajar dari pengalaman hidupnya atau dalam artian tidak mengindahkan nasehat gurunya.
  • Dan juga gangguan jiwa ini disebutkan dapat pula disebabkan oleh kemasukan dan kemarahan dari roh-roh jahat atau leluhur.
    • Dimana hal ini menurut konsepsi orang Bali juga dapat diantisipasi dan disembuhkan melalui upacara melukat sebagai pembersihan dan penyucian jiwa.
Secara tradisional dijelaskan dalam kutipan artikel PHDI dalam fungsi dan makna ritual melukat dalam Pemnyembuhan Gangguan Jiwa di Bali disebutkan dapat dikelompokkan menjadi dua sumber utama, yaitu :

  1. Karena kemasukan roh jahat (bebai) dalam tubuh atau sering disebut kena pepasangan.
    • Dalam Niwerti, “Pepasangan”, disebutkan yakni sarana yang ditanam pada tempat tertentu yang bertujuan untuk mengenai korbannya sesuai dengan yang diingini si pemasang. 
  2. Karena kemarahan roh leluhur (kepongor) atau karena kutukan.
Penyebab gangguan pada kelompok yang pertama atau terganggunya jiwa seseorang akibat masuknya roh (unsur bebai) ke dalam tubuh seseorang atas agresi orang lain merupakan faktor utama yang masih umum diyakini oleh masyarakat Bali hingga kini. 
  • Dalam kategori ini masyarakat pada umumnya dan pihak keluarga pada khususnya masih sangat percaya bahwa apabila ada salah seorang anggota keluarganya yang terganggu kesehatan jiwanya, maka keluarga tersebut berkeyakinan bahwa sakit tersebut disebabkan karena ulah orang lain yang iri (sirik) terhadap keluarganya atau alasan lain. Oleh karena itu, dia mengirim roh jahat (bebai) baik langsung maupun melalui bantuan orang sakti (dukun) untuk membuat orang bersangkutan sakit jiwa.
  • Sehubungan dengan peristiwa tersebut masyarakat umumnya akan menghubung-hubungkan sakit tersebut dengan kejadian sebelumnya terutama hubungan yang kurang harmonis atau konflik baik antar keluarga maupun antar¬anggota masyarakat. Dalam konteks ini tampak bahwa peranan agen perantara sebagai penyebab gangguan jiwa sangat menonjol (Foster, 1978).
Sebaliknya, penyebab gangguan jiwa pada kelompok yang kedua atau gangguan jiwa karena kemarahan roh leluhur, umum disebut sakit kepongor. 
  • Dalam kelompok ini tampak bahwa peranan agen perantara sebagai penyebab sakit tidak menonjol. Secara empiris menurut konsepsi orang Bali, gangguan jiwa karena kepongor atau karena kemarahan atau kutukan roh leluhur dipercayai akan dapat menimpa setiap keluarga yang melalaikan kewajibannya dalam memuja atau memuliakan leluhurnya. Melalaikan kewajiban terhadap roh leluhur diyakini tidak saja dapat menyebabkan sakit jiwa pada seseorang, tetapi juga dapat merusak keharmonisan keluarga secara keseluruhan. Dengan demikian, konsepsi penyebab sakit dalam kategori ini sering terkait dengan penyelenggaraan kegiatan ritual, khususnya upacara pitra yadnya.
  • Ekspresi dan karakteristik perilaku yang ditampilkan oleh orang yang menderita gangguan jiwa karena kepongor berbeda dengan perilaku gangguan jiwa pada kelompok pertama karena menunjukkan ciri pola perilaku ekspresi yang relatif khas. Misalnya, suka berbicara sendiri dengan menampakkan ekspresi wajah yang seolah-olah berbicara dengan orang-orang yang sudah meninggal, mengucapkan kata-kata yang berkaitan dengan pengampunan, penyelenggaraan upacara yang pernah atau belum dilakukan, dan lain-lain. Di samping itu gejala-gejala sakit ini umumnya berlangsung dalam kurun waktu yang agak lama.
Untuk menentukan atau mendiagnosis apakah seseorang terganggu jiwanya karena kemasukan roh jahat (kena bebai) ataukah karena kutukan atau kemarahan roh leluhur tampaknya cukup sulit dilakukan oleh orang awam. 
Oleh karena itu, menurut kebiasaan orang Bali umumnya, mereka akan meminta pertolongan kepada seorang dukuh untuk memperoleh penjelasan mengenai sebab-sebab sakit dan sekaligus cara-cara mengatasinya. 
Pada umumnya dukun atau median akan memberikan penjelasan kepada keluarga bersangkutan menge-nai mengapa, bagaimana dan kepada siapa sesuatu itu ditujukan sehingga upaya mengembalikan kondisi seperi; semula dapat diwujudkan.  
Atas dasar kenyataan itu, maka sangatlah wajar jika peranan dan eksistensi dukun di Bali dalam menangani masalah sakit jiwa masih sangat besar tanpa harus bertentangan dengan pengobatan dokter/biomedis.
Fungsi dan Makna Melukat dalam Penyembuhan Gangguan Jiwa dan Sumbangannya terhadap Sistem Pengobatan Barat
  • Seperti halnya upacara ruwatan melukat juga merupakan bentuk kegiatan ritual yang memiliki hakikat arti pembersihan atau penyucian yang biasanya mengacu pada pembersihan/penyucian diri manusia lahir batin, atau dewa yang diwujudkan lewat pretima yang oleh sesuatu sebab harus diupacarai sehingga menjadi suci/ bersih kembali (Bagus, 1985). 
  • Menurut konsepsi orang Bali, kata suci bisa mengacu pada pengertian bersih (ning), seimbang (harmoni), sehat tidak mudah kena gangguan ilmu hitam (pepasangan atau bebai). Atau jika dikaitkan dengan konsepsi etiologi sehat-sakit secara naturalistik dan personalistik, maka terjadinya keseimbangan unsur-unsur dalam tubuh atau kembali keadaan jiwa seperti semula merupakan hakekat dari kondisi sehat. (Foster, 1978).
Dengan demikian, ritual melukat dalam proses pengobatan gangguan jiwa memiliki fungsi dan makna simbolik yang mengarah pada upaya pembersihan jiwa-raga penderita dalam rangka mencapai atau mengembalikan keseimbangan jiwa yang terganggu. 
Ritual ini secara simbolik berarti tidak saja dalam kaitannya dengari tujuan pengobatan (kuratif), tetapi juga makna preventif.  
Artinya, jika kondisi jiwa-raga (skala-niskala) seseorang dalam keadaan suci-bersih, maka yang bersangkutan akan tidak mudah terganggu jiwanya, baik oleh sebab yang bersifat alamiah maupun supraalamiah seperti gangguan ilmu hitan atau gangguan roh-roh. 
Sebaliknya, jika keadaan jiwa-raga seseorang dalam keadaan tidak suci/ kotor, jiwanya lemah dan tidak seimbang emosinya, maka orang bersangkutan dipercayai akan sangat mudah kena pengaruh roh jahat.
Oleh karena itu, bersih atau suci menurut konsepsi orang Bali juga-berarti seimbang (harmoni) dan keadaan seimbang berarti sehat ataul tidak mudah kena pengaruh jahat (bebai atau pepasangan yang bisa menimbulkan sakit), maka upaya pembersihan diri lahir-batin (sekala-niskala) dengan upacara melukat agaknya memiliki logika rasional paling tidak menurut konsep mereka. 
Karena itu, jika ada orang Bali mengalami gangguan jiwa atau dinyatakan telah sembuh dari sakit jiwa, maka upaya pengobatan dengan upacara melukat merupakan cara yana penting dan harus dilakukan selain menggunakan pengobatan, baik dokter maupun dukun. 
Dengan demikian upacara melukat dalam konteks gangguan jiwa tidak saja dimaksudkan sebagai sarana pengobatan/terapi, tetapi juga memiliki makna preventif, baik dalam dimensi psikologis, sosial, maupun budaya.
Dalam dimensi psikologis dan simbolis dengan melukat si penderita akan dapat terhindar dari trauma pengalaman yang kurang menyenangkan atau atas kejadian buruk yang pernah dialami selama dia sakit. Di samping itu sekaligus pula sebagai sarana penumpahan tekanan kegelisahan intrapsikis dan sosial yang dialami selama dia dirawat sehingga kematapan jiwanya kembali terbentuk. 
Dengan kemantapan jiwa itu, maka proses penyembuhan selanjutnya akan terjadi secara lebih mudah dan cepat. 
Di samping itu aktivitas tersebut juga menjadi media komunikasi dan ekspresi simbolis dari penderita dan keluarganya kepada orang lain (tetangga/masyarakat) bahwa keadaan benar-benar sudah dapat kembali normal, bebas dari gangguan roh jahat, atau "penderita telah benar-benar sembuh, sehingga hubungan sosial dapat berlangsung normal kembali.
Dalam dimensi sosial dengan penyelenggaraan upacara melukat, maka secara sosial pihak keluarga pasien secara tidak langsung mengkomunikasi-kan kepada pihak lain (keluarga luas dan masyarakat) bahwa keadaan kesehatan yang bersangkutan telah benar-benar pulih kembali (sehat/normal). 

Dengan demikian, dia berhak kembali untuk melaksanakan peran-peran sosialnya (hak-hak dan kewajiban-kewajiban) sebagai anggota masyarakat tanpa meninggalkan stigma.
Keadaan ini jika dikaitkan dengan apa yang terjadi di Afrika seperti yang diungkap oleh Turner (1975), ada kesamaan fungsi dan makna, bahwa fungsi upacara Chimba, Isoma dan Nkula pada suku Ndembu adalah untuk menanggulangi niat jahat orang lain dengan tenung, menenteramkan kemarahan roh-roh leluhur yang menimbulkan penyakit, di samping juga sebagai media komunikasi di masyarakat bahwa telah terjadi peralihan status sosial seseorang dari masa atau status yang rendah ke masa atau status yang lebih tinggi. Atau oleh Helman (1984) disebut sebagai ritual ofmisfoiune yang memiliki fungsi, baik pengobatan (terantment) maupun pencegahan (preventive).
Sehubungan dengan uraian di atas, dikaitkan dengan hasil penelitian Suryani (1980), Pantri dkk. (1982) tentang perilaku kesehatan para pasien yang dirawat di RS Wangaya, Denpasar, dalam Kumbara (1994) tentang persepsi dan perilaku perawatan gangguan jiwa di Bali ditemukan bahwa hampir seluruh responden menyatakan bahwa mereka akan melukat dan menggunakan pengobatan tradisional (dukun) setelah pulang dari rumah sakit walaupun mereka secara biomedis dinyatakan oleh dokter telah benar-benar sembuh. 

Di samping itu, ditemukan bahwa sebagian besar responden menyatakan sudah pernah berobat secara tradisional (ke dukun) sebelum mereka dirawat di rumah sakit.

Berdasarkan fakta seperti itu dapat disimak bahwa masih eksisnya tradisi penyembuhan gangguan jiwa di Bali secara tradisional (menggunakan dukun / balian dan dengan upacara melukat) karena melukat merupakan sub unsur kebudayaan Bali yang sangat fungsional dan merupakan bagian penting dari kosmologi orang Bali, yang menekankan pada aspek keseimbangan/harmoni sebagai inti kehidupan. Salah satu cara penting yang sering dilakukan untuk menjaga atau mengembalikan keseimbangan dunia (makro-mikrokosmos), skala-niskala, jiwa-raga yaitu dengan melaksanakan upacara ritual (panca yadnya). 

Di samping itu, upacara melukat yang dilaksanakan dalam konteks gangguan jiwa sangat terkait pula dengan konsepsi etiologi gangguan jiwa orang Bali yang masih bersifat personalistik. Artinya gangguan jiwa yang dipercayai akibat gangguan roh jahat atau karega faktor kekuatan supranatural.

Demikian disebutkan nan juga sebagai tambahan, 
  • Dimana dalam adat dan budaya Bali, melukat disebutkan bertujuan untuk pembersihan pikiran dan jiwa secara spiritual dalam diri manusia yang dilaksanakan pada hari baik (dewasa ayu) sebagai tradisi yang sudah dilakukan oleh umat Hindu di Bali secara turun temurun dan masih terus dilakukan sampai saat ini.
  • Antisipasi dan penyembuhan secara niskala juga dapat ditempuh dengan cara :
    • Menepati sebuah janji yang pernah ditujukan kepada Ratu Batara dan apabila terkabul wajib ditepati dengan melaksanakan upacara "mayah/naur sesangi".
    • Secara tradisional, pengobatan dapat mengacu pada Lontar Usada Buduh sebagai salah satu lontar usada sebagai kitab kuno di Bali.
***