Gerabah

Gerabah adalah kerajinan dari tanah liat dengan cara dibakar yang telah ada sejak zaman neolittikum sekitar 2500 SM.
Pengrajinnya disebut dengan para kriyawan yang ahli dalam karya seni tembikar dengan ciri khas masing-masing.

Di Bali pada zaman dahulu disebutkan pada awalnya pekerjaan mengerjakan gerabah ini hanya sebagai kegiatan sampingan diluar pekerjaan pokok sebagai petani yang pembuatannya dilakukan saat menunggu masa bercocok tanam

  • Mereka memanfaatkan waktu menunggu akan datangnya musim panen dengan baik.
  • Dan untuk nilai sakralnya, 
    • Hari baik yang digunakan untuk membakar gerabah yaitu dewasa Gni Rhawana, saat api memiliki kejayaan dan kemegahannya.
Dan sampai saat ini dalam pelaksanaan upacara yadnya, gerabah sebagai pelengkap tetandingan banten di Bali memiliki peranan yang sangat penting seperti halnya :

  • Jun Pere, sebagai pelengkap dalam banten prayascita.
  • Coblong, dalam rangkaian upacara papegat sebagai simbol dari sebuah pemutusan atau keputusan dalam kehidupan ini.
  • Dulang, sebagai simbol yoni.
  • Pasepan, sebagai tempat harumnya pembakaran wewangian.
  • Sangku, dalam lontar Yama Purwa Tattwa, digunakan sebagai simbol kantung kemih.
  • Payuk, dalam pagedong-gedongan medaging toya anyar medaging sekar pitung warna.
  • Caratan sebagai simbol saluran air suci.
  • dan lain-lain.
Keberadaan gerabah ini sebagai warisan budaya Bali, dalam studi eksistensi gerabah tradisional dikatakan bahwa benda gerabah telah menjadi bagian hidup masyarakat Hindu di Bali sejak jaman dahulu.

Berdasarkan hasil penggalian yang dilakukan oleh para ahli purbakala di beberapa tempat di Bali membuktikan bahwa masyarakat Bali / manusia purba sudah mengenal pembuatan barang-barang gerabah dari tanah liat. 
  • Stupa-stupa kecil dan materai-materai dari tanah liat ditemukan di Pejeng (Gianyar). 
  • Sedangkan periuk-periuk yang ditemukan diyakini berhubungan dengan kepercayaan seperti halnya sebagai tempat untuk makanan dan minuman. 
Nilai-nilai kepercayaan tersebut masih dapat kita jumpai sampai sekarang. Hal ini terlihat dari penggunaan benda-benda gerabah sebagai sarana pelengkapan upacara yang dilakukan masyarakat Hindu di Bali dapat dijumpai sampai sekarang. 
Misalnya gerabah sebagai tempat air suci tirtha, tempat api suci, dan lain-lain. 

Pembuatan gerabah di Bali pada awalnya tersebar di beberapa pedesaan, seperti Banjar Basangtamiang (Desa Kapal) dan Banjar Benoh (Desa Ubung) di Kabupaten Badung, Desa Pejaten di Kabupaten Tabanan, Desa Banyuning di Kabupaten Buleleng, Desa Jasi di Kabupaten Karangasem dan di Desa Pering Kabupaten Gianyar. 

Dari beberapa sentra kriya tersebut yang masih menampakkan aktifitasnya sampai sekarang adalah pembuatan gerabah di Banjar Basangtamiang, Binoh, Pejaten dan Banyuning. 
Masing-masing sentra kriyawan tersebut memiliki kekhasan yang berbeda-beda sesuai sumber daya dan budaya masing-masing kriyawan. 
Demikian juga hasil yang didapatkan hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari baik untuk kebutuhan rumah tangga dan untuk kepentingan yang berhubungan dengan kepercayaan/agama masyarakat setempat.
***