Neolitikum adalah suatu masa dimana dahulu terjadi integrasi dengan kebudayaan dari luar yang diperkirakan berlangsung sekitar tahun 2500 SM s/d 500SM;
Konon, di zaman Neolithikum ini diceritakkan dalam Goa Giri Putri, dulu manusia hidup tanpa norma, tanpa kaidah, hingga berlaku suatu pola normatif homo-homini lupus;
Manusia satu menjadi "serigala" bagi manusia yang lain, lantas berlaku hukum rimba, siapa kuat dia menang.
Tiap orang berusaha mempertahankan hidup dari keganasan alam, seperti amukan binatang buas, hujan lebat, terjangan angin, dan sengatan sinar mentari. Lalu mereka perlu tempat perlindungan dan reproduksi keturunan demi keberlangsungan hidup.
Dalam kebudayaan batu muda pada zaman ini dalam sejarah Bali disebutkan merupakan zaman inegrasi budaya yang dibawa oleh migrasi orang-orang Proto Melayu dan tergolong ras Mongoloid. Maka saat itu mulailah terjadi integrasi dengan kebudayaan dari luar dan penduduk Bali ketika itu secara berangsur-angsur meninggalkan pola hidup nomaden, mulai hidup bertempat tinggal di suatu daerah dengan batas-batas wilayah tertentu yang disebut pedukuhan, belajar bercocok tanam dan bermasyarakat.
Dengan adanya integrasi kebudayaan saat itu, dengan ciri-ciri serta peninggalannya dalam artikel Sridanti.com disebutkan pula bahwa :
Kemajuan masyarakat dalam masa neolitikum ini tidak saja dapat dilihat dari corak kehidupan mereka, tetapi juga bisa dilihat dari hasil-hasil peninggalan budaya mereka. Yang jelas mereka semakin meningkat kemampuannya dalam membuat alat-alat kebutuhan hidup mereka. Alat-alat yang berhasil mereka kembangkan antara lain: beliung persegi, kapak lonjong, alat-alat obsidian, mata panah, gerabah, perhiasan, dan bangunan megaltikum. Beliung persegi ditemukan hampir seluruh kepulauan Indonesia, terutama bagian barat seperti desa Sikendeng, Minanga Sipakka dan Kalumpang (Sulwasei), Kendenglembu (Banyuwangi), Leles Garut (Jawa Barat), dan sepanjang aliran sungai Bekasi, Citarum, Ciherang, dan Ciparege (Rengasdengklok). Beliung ini digunakan untuk alat upacara.
Kapak lonjong ditemukan terbatas hanya di wilayah Indonesia bagian timur seperti Sulawesi, Sangihe-Talaud, Flores, Meluku, Leti, Tanibar dan Papua. Kapak ini umumnya lonjong dengan pangkal agak runcing dan melebar pada bagian tajaman. Bagian tajaman diasah dari dua arah sehingga menghasilkan bentuk tajaman yang simetris.
Alat-alat obsidian merupakan alat-alat yang dibuat dari batu kecubung. Alat-alat obsidian ini berkembang secara terbatas di beberapa tempat saja, seperti: dekat Danau Kerinci (Jambi), Danau Bandung dan Danau Cangkuang Garut, Leuwiliang Bogor, Danau Tondano (Minahasa), dan sedikit di Flores Barat.
Di Bali, berkaitan dengan konsepsi keagamaan pada saat itu yaitu utamanya disebutkan yaitu pada pemujaan roh suci leluhur sebagai unsur asli Indonesia/Bali yang berkembang mulai jaman neolitik ±2500SM dan berlanjut pada jaman perunggu ±500SM.
Untuk tempat pemujaan arwah nenek moyang pada masa ini didirikan lah bangunan teras piramid dan menhir, sedangkan untuk pengekalan jasmaniahnya dibuatkan peti kubur batu yang disebut sarkofagus.
Bukti-bukti peninggalan arkeologi ini banyak ditemukan di Bali terutama di desa-desa pegunungan seperti Desa Selulung di Kintamani, desa Sembiran, Tenganan Pagringsingan dan lain-lainnya.
Setelah kebudayaan Hindu mempengaruhi Indonesia, maka terjadilah perpaduan konsepsi keagamaan yaitu pemujaan roh suci leluhur yang disebut Batara (#seperti Bhatara Kawitan) unsur asli Indonesia atau Bali dan pemujaan Dewa pengaruh dari India.
Akhirnya kedua konsepsi keagamaan ini berdampingan satu dengan yang lainnya.
Hal ini jelas tampak pada pura-pura di Bali di mana terdapat tempat pemujaan untuk Hyang Widi yang disebut Padmasana dan tempat pemujaan untuk Batara yang disebut: Sanggah Kemulan, Gedong Pejenengan dan Meru Padarman.
Demikian sebagaimana juga ditambahkan dalam Babad Bali berkaitan dengan Bagian 1 Pura Kahyangan Tiga.
***