Sekalipun hidup tanpa ada ayah ibu dan tanpa saudara (ubuh) tidak ada yang mengawasi, memberikan petunjuk-petunjuk di dalam mengalami hidup siang dan malam bergelut dengan kesusahan atau kesedihan.
Apalagi ada orang yang memarahi kita walaupun kita telah berbuat baik. Juga tidak dapat diterima, apa yang kita lakukan selalu rasanya salah.
Keadaan yang demikian itu merupakan bekal kita lahir ke dunia menjadi manusia. Lahir menjadi manusia ke dunia (Jagat sekala) sangat beruntung sekali, karena merupakan makhluk yang paling utama memiliki pikiran (idep), dibandingkan lahir ke dunia menjadi binatang dan turnbuh tumbuhan yang hidup/tumbuh secara liar.
Sekalipun sebagai manusia dengan keadaan kehidupan tidak menyenangkan, namun tetap bersyukur. Lahir ke dunia menjadi manusia tidak lepas dari keadaan yang disebut dengan Rwa Bineda yaitu dua hal yang berbeda namun selalu berdampingan.
- Suka dan duka benar dan salah,
- Dharma dan angkara (adharma)
Hal ini disebut bekal kita hidup (suka duka lara pati) di dunia ini, yang datangnya silih berganti tak ubahnya seperti pedati.
Sifat angkara yang lebih cepat mempengaruhi, menguasai dan mengendalikan pikiran manusia, sehingga sifat yang jelek, jahat dan sebagainya yang muncul dari tingkah laku manusia.
Dharma (kebenaran) menjadi tertimbun sulit muncul, hidup kita di dunia menjadi penuh dosa.
Untuk memperbaiki hal-hal tersebut di atas, kita harus belajar dari orang-orang yang sudah lebih pengalaman tentang kehidupan di dunia. Mendengar pituah-pituah (pesan-pesan) untuk dapat melaksanakan, merencanakan pitutur itu, dengan jalan mempelajari Aksara (mesastra), dari aksara (sastra) ini kita aka memiliki ilmu pengetahuan.
Sehingga dapat memilah-milah mana yang baik dan mana yang buruk sebagai cerminan dalam kehidupan ini, merupakan sinar yang memberikan penerangan baik di dunia (jagat sekala) maupun di dunia akhirat (jagat niskala).
Aksara (sastra) yang kita pelajari yang diturunkan oleh Ida Sang Hyang Widhi yang berwujud sebagai Dewi Saraswati, sehingga aksara (sastra) itu disebut Sang Hyang Aji.
Dengan mempelajari ilmu pengetahuan dapat melahirkan dan memberikan sinar segala kegelapan (awidya) bagi umat di dalam menjalani hidup.
Akhimya kita tahu filsafat kehidupan dari tutur-tutur dan dari sastra-sastra, yang merupakan pedoman sehingga menghilangkan kebingungan, berupa kehidupan kita penuh bayangan yang membingungkan.
Berdasarkan analisis di atas dalam kehidupan menjadi manusia tidak pernah luput dari hal – hal yang mencerminkan tingkah laku, prilaku, dalam jalanya kehidupan manusia yang akan menemukan gejala – gejala kurang baik maupun gejala yang lebih baik.
Mengapa demikaian karena dalam diri manusia mempunyai sifat Tri Guna, yang meliputi dalam diri kita ini satwam, rajas, dan tamas serta manusia itu menunjukan rasa keegoannya.
Nah, melalui Geguritan Mituturin Angga ini seperti yang dikutip dari sinopsisnya yang diungah dalam ResearchGate disebutkan supaya kita dapat mempelajari aksara (sastra), supaya bisa berbuat lebih baik dari sebelumnya.
Berbuat yang baik atau sesuai dengan sastra agama sebagai jembatan kita untuk menuju sorga. Yang dilakukan kita semasih hidup selain mempelajari sastra, bertingkah laku (etika) yang tidak kalah pentingnya melakukan yadnya, yadnya yaitu korban suci yang tulus ikhlas yang diwujudkan dengan upacara Agama yang dilakukan setiap hari maupun pada hari-hari tertentu.
***