Pada mulanya di Bali dalam pergeseran budaya ngaben, dari setra menuju krematorium ini disebutkan digagas oleh Ikatan Suka Duka Pekerja Hindu Indonesia (ISDPHI) yang bekerja sama dengan warga Pasek dengan menyediakan lahannya sebagai ungkapan rasa jengah yang muncul dari kasus-kasus adat yang terkadang terjadi.
Harus di akui keberadaan krematorium ngaben merupakan salah satu terobosan pemecah kebuntuan terhadap terjadinya kasus-kasus adat.
Namun, di lain sisi, kontroversi terhadap keberadaan krematorium ini wajar terjadi dalam dinamika berfikir masyarakat Bali.
Kewajaran terhadap kontroversi inilah yang juga perlu dikhawatirkan menjadi kontroversi yang terjadi terus menerus.
Dikatakan demikian karena di setiap Desa pekraman di Bali sudah ada setra/kuburan yang setiap pelaksanaan ngabennya disesuaikan dengan Desa Mewacara yang berlaku di wilayah desa pekraman tersebut.
Nah, kalau dalam suatu keluarga yang kesepekang, setiap ada anggota keluarganya meninggal, mayatnya akan krematorium-kan.
Artinya, akan terpecahkan suatu disharmoni adat dengan pihak yang kesepakang dimana mereka diharpakan telah merasa “nyaman” karena sudah ada krematorium ini.
***