Gambir

Gambir (dalam Bahasa Jawa Kuno) berarti senang, bahagia, ataupun gembira yang kemudian dikhususkan lagi menjadi “gambiraning ati” yang artinya kebahagiaan hati atau batin. 

Dalam petikan lontar Mpu Lutuk Alit tentang porosan:
“Nihan kramaning angawe porosan lwirnya: sedah (sirih), jambe (pinang), pamor (kapur), mwang gambir. 
Yan tan hana gambir, jambe wenang juga. Porosan pinaka untenging sahananing canang, sahananing banten. Yan tan hana porosan tan canang tan banten ngaraniya, nihan kautaman porosan ngaran”.
Artinya:
Ini caranya membuat porosan, terdiri dari: daun sirih, buah pinang, kapur, dan gambir, jika tidak ada gambir cukuplah buah pinang. Porosan adalah inti dari canang, inti dari banten. Kalau tanpa porosan bukan canang namanya bukan banten namanya, demikianlah keuatamaan porosan.
Seperti halnya penggunaan gambir pada cane yang biasa digunakan dalam paruman desa adat untuk memohon agar pertemuan berjalan lancar dilengkapi dengan kojong empat buah yang berisi tembakau, pinang dan lekesan yaitu, 2 lembar sirih yang dilengkapi dengan gambir dan kapur dan diikat dengan benang sebagai simbol suci tali pengikat dalam proses kehidupan yang pada upacara yadnya.

Dan setelah melaksanakan upacara yadnya dalam kutipan kajian sejarah Tantrayana juga dikatakan bahwa niscaya kita akan mendapatkan kebahagiaan rohani yang tidak kita dapatkan pada materi yang kita miliki. Itulah beberapa makna yang dapat kita ambil dari pecanangan seorang sulinggih.

Namun, tentunya tidak akan sempurna jika kita hanya memahami makna tersebut tanpa mempraktekkannya.
***