Sang Hyang Dharma

Sang Hyang atau Bhatara Dharma adalah perwujudan Bhatara Yama sebagai pelindung keadilan yang bertugas untuk mengamat-amati (mengadili) baik buruk perbuatan manusia

Dalam Agastya Parwa, 355.15 disebutkan bahwa :
“Bhatara Dharma ngaran ira Bhatara Yama sang kumayatnaken cubhacubha prawrti sekala janma”.
Terjemahan:
Bhatara Dharma (juga) bergelar Bhatara Yama (sebagai Dewa Keadilan) sebagai pelindung keadilan yang mengamat-amati (mengadili) baik buruk perbuatan manusia. 
Baik buruk dari (karma) itu akan memberi akibat yang besar terhadap kebahagiaan atau penderitaan hidup manusia.

Sebagaimana dikisajkan Swargarohanaparwa sebagai bagian sebagai akhir cerita dalam perjalanan Yudistira ke Sorga, Beliau juga menjelaskan bahwa, 
Meninggalkan orang yang setia bhakti ketika ia masih hidup, sama halnya dengan membunuh seorang wanita yang bijaksana, juga membunuh brahmana, tidak menolong orang yang memerlukan pertolongan,
Karenanya ketika ia tidak patut ditinggalkan. “Hamba tidak akan menemui sorga kalau meninggalkannya".
Dengan pendirian yang teguh, Beliaupun tidak mau memotong kesetiaan sekalipun dari seekor binatang dan itu adalah sebuah ujian baginya dan beliau dinyatakan lulus oleh Sang Hyang Dharma.

Jadi segala baik dan buruk suatu perbuatan akan membawa akibat tidak saja di dalam hidup sekarang ini, tetapi juga setelah di akhirat kelak, yakni setelah Atma dengan suksma sarira (alam pikiran) terpisah dari badan (tubuh) dan akan membawa akibat pula dalam penjelmaan yang akan datang, yaitu setelah atman dengan suksma sarira memasuki badan atau wadah yang baru. 
Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) akan menghukum atman (roh) yang berbuat dosa dan merahmati atman (roh) seseorang yang berbuat kebajikan. Hukuman dan rahmat yang dijatuhkan Hyang Widhi ini bersendikan pada keadilan.
Pengaruh hukum ini pulalah yang menentukan corak serta nilai daripada watak manusia. Hal ini menimbulkan adanya bermacam-macam ragam watak manusia di dunia ini. 

Terlebih-lebih hukuman kepada Atman (roh) yang selalu melakukan dosa semasa penjelmaannya, maka derajatnya akan semakin bertambah merosot.

Hal ini disebutkan dalam Weda sebagai berikut:
“Dewanam narakam janturjantunam narakam pacuh, Pucunam narakam nrgo mrganam narakam khagah, Paksinam narakam vyalo vyanam narakam damstri, Damstrinam narakam visi visinam naramarane .” (Slokantara 40.13-14)
Terjemahanya:
Dewa neraka (menjelma) menjadi manusia. Manusia neraka (menjelma) menjadi ternak. Ternak menjadi binatang buas, binatang buas neraka menjadi burung, burung neraka menjadi ular, dan ular neraka menjadi taring. (serta taring) yang jahat menjadi bisa (yakni) bisa yang dapat membahayakan manusia.
Kenerakaan yang dialami Atman (roh) yang selalu berbuat jahat (dosa) semasa penjelmaannya di dunia. 
Jika penjelmaan itu telah sampai pada limit yang terhina akibat dosanya, maka ia tetap akan menjadi dasar terbawah dari kawah neraka.
Sehingga perbuatan subha-asubhakarma yang dilakukan manusia, maka sorga dan neraka yang akan dilalui serta dinikmati. 
Namun Sorga dan Neraka disebutkan bukanlah akhir dari kehidupan, ia tetap merupakan pilihan sesuai dengan karma manusia, serta menentukan proses kehidupan kemudian.
***