Stri Parwa

Stri Parwa | Kitab ke sebelas dari parwa Mahabharata yang mengisahkan ketika para Pandawa selesai perang Beratha Yudha
Mereka pun akhirnya pulang ke istana dimana kepulangannya tersebut juga banyak menyiratkan nilai-nilai etika dan Ketuhanan.
Diceritakan, setelah tiba di istana para pandawa disambut oleh Drestarasta dan Dewi Gandhari serta Widhura dan Dewi Kunti ibunya para pandawa. Para pandawa satu per satu memohon restu kepada Drestarasta dan Dewi Gandhari. 
Kecuali Bima. Bimapun segera menghadap namun Krishna membisikkan sesuatu agar tidak mendekat kepada prabu Drestarastra. 
Drestarastra pun segera mengambil patung tersebut, ia merasa bahwa telah memegang Bima tapi yang dipegangnya itu adalah patung. 
Secara tiba – tiba Drestarasta mengeluarkan ajian gumbala geni sehingga patung yang dipegangnya itu lenyap. Sebaliknya Drestarasta timbul rasa penyesalan karena ia telah menurutkan rasa dendam untuk membunuh keponakan sendiri. Lalu dipeluknya erat – erat dengan penuh kasih.
Bila dikaitkan dengan kehidupan sehari – hari yaitu sebagai manusia kita tidak boleh saling menyakiti. 
Apalagi menyakiti saudara bahkan itu menyakiti keponakan sendiri. Anggap aja keponakan itu sebagai anak sendiri. 
Meskipun anak kandungnya sudah meninggal dunia akibat peperangan. Bila kita membalaskan dendam kepada orang kita benci suatu saat kita akan mendapatkan karma yang lebih dari yang kita perbuat kepada orang lain tersebut. 
Maka dari itu kita sebagai manusia biasa ciptaan Tuhan tidak boleh menyakiti antar sesama manusia karena akan mendapatkan karma phala yang besar pula disaat kita meninggal nantinya. 
Dan kita, kalau melakukan kesalahan pastinya kita berdosa, kita tidak akan bisa mencapai sorga apalagi mencapai moksa.
Nilai Etika yang tersirat dalam Stri Parwa ini juga disebutkan :
Dewi Gandhari disamping dendam kepada Bima ia juga dendam kepada Krishna. Karena pandawa menang dalam peperangan atas petunjuk – petunjuk Krishna sehingga berhasil memusnahkan seluruh para Korawa. 
Karena petunjuk Krisnalah drestarastra tidak terbalaskan dendamnya kepada bima, maka ia pun mengutuk Krishna agar kelak keluarganya juga mengalami kehancuran seperti kehancuran yang dialaminya sekarang.
Bila dikaitkan dengan kehidupan sekarang bahwa manusia tidak boleh saling mempunyai rasa iri antara satu sama lain. 
Karena rasa iri itu tidak akan dapat dihilangkan itu merupakan sad ripu dalam diri kita. Yang harus bisa dihilangkan dalam diri manusia. 
Suatu saat nanti pasti akan mendapatkan hasil yang buruk juga. Tidak boleh mengutuk orang yang lebih tinggi dari kita karena suatu saat kita akan dikutuk pula apalagi yang kita kutuk itu dewa seperti itu. Nantinya pasti kita akan mendapatkan imbasnya.

Nilai Ketuhanan
Berangkatlah keluarga hastina ke padang kuruksetra untuk melaksanakan upacara penyucian terhadap arwah para pahlawan yang gugur. 
Keberangkatannya diikuti oleh beribu – ribu rakyat hastina yang ikut serta rakyat dari berbagai kerajaan lain yang ikut terlibat dalam perang bharata. Terutama sekali ikut serta para istri yang suaminya gugur dalam perang tersebut. 
Sesampainya di Kuruksetra para istri – istri tersebut tidak dapat menahan isak tangisnya, para istri tersebut tidak dapat menahan kesedihannya sehingga meledaklah tangis mereka yang menyayat hati. 
Mereka menangis tidak dapat tertahankan karena mengenang mereka yang dikasihi dan tempat menggantungkan segala harapan yang telah tiada. Padang kuruksetra yang dulunya dramaikan oleh dentingan – dentingan senjata kini diramaikan oleh isak tangis para istri yang kehilangan suaminya.
Bila dikaitkan dengan kehidupan sekarang bahwa kita sebagai umat Hindu harus ingat kepada para leluhur yang telah meninggalkan kita. 
Orang yang telah meninggal itu harus disucikan arwahnya agar nantinya bisa bersatu dengan sang maha pencipta. Disucikan dengan jalan dibuatkan upacara seperti upacara ngaben yang ada di bali. 
Orang yang meninggal di peperangan disebut dengan pahlawan karena telah membela kerajaannya. Para pahlawan yang sudah gugur itu harus dikenang jasad dan kebaikannya disaat masih hidup dulu. 
Orang yang ditinggalkan pasti akan merasa sedih hatinya. Maka dari itu orang yang telah meninggal tidak perlu ditangisi karena bila ditangisi berarti kita tidak ikhlas untuk di tinggalkan. 
Dan sesuai dengan ajaran Ahimsa Parama Dharma, dimana orang yang membunuh di saat peperangan itu disebutkan tidak berdosa karena merupakan kewajiban untuk membela Negara atau kerajaannya. 
Oleh sebab itu orang yang meninggal dalam peperangan disebut pahlawan.
***