Dan upacara ini juga menjadi simbol bahwa pihak keluarga telah ikhlas atas kepergian yang bersangkutan seperti dikatakan di balik upacara ngaben yang dilakukan umat Hindu di Bali.
Upcara ini pada umumnya dilakukan setelah selesai melaksanakan upacara ngaben atau kremasi yang biasanya juga dapat dilakukan pada aliran-aliran sungai atau tukad pengrarungan yang telah disucikan dan bermuara ke laut.
Dan adapun banten Pengerarungan ke laut dalam dokumen PuraKawitan, Pitra Yajnya2000, khususnya buat kita Umat Hindu disebutkan tetandingan banten dan tata caranya disebutkan sebagai berikut :
Banten yang diperlukan :
Dari hasil pengerekaan tulang yang dikembalikan menjadi serbuk kendatipun tidak halus, hanya sebagai symbol saja. Dimasukkan ke bungkak sehingga merupakan bentuk puspa lingga setelah selesai dihias, lalu dihadpkan ke arah balai wantilan untuk menerima ayaban bebantenan saji dll. Sebagai suatu hidangan sebelum perjalanan menuju ke laut.Dengan pemuput ida pedanda/sulinggih para keluarga yang pantas menghaturkan bakti untuk terakhir kalinya setelah upacara pengabenan. Selesai menghaturkan sembah, sawa tersebut diangkut dengan mengitari 3 kali balai wantilan kemudian berangkat ke laut dengan tujuan menghanyutkan sawa / sekah tersebut. Sisa – sisa tulang dibungkus dengan kain putih juga dihanyutkan ke laut.
Banten yang diperlukan :
- Satu soroh – sorohan
- Satu soroh glarsanga
- Jejeg urip
- Satu soroh sayut pengambiyan
- Sodan japit
- Satu soroh suci
- Lis amuan – amuan
- Sangkrura
- Arak berem air asep
- Bunga kwangen
***