Bentuk - bentuk perkawinan di Bali sangatlah unik dan bervariasi yang mana disebutkan dalam bahasa bali :
- ”Pawiwahan inggih punika patemining purusa pradana, malarapan patunggalan kayun suka-cita, kadulurin upasaksi sekala - niskala”
- Kapurusa atau Purusa | Sistem kekeluargaan patrilineal atau kebapaan yang lebih dikenal luas dalam masyarakat Bali.
Undang-undang perkawinan tidak mengatur mengenai bentuk-bentuk perkawinan ini, namun demikian persoalan mengenai bentuk-bentuk perkawinan ini sama sekali tidak dapat diabaikan dalam keseluruhan sistem perkawinan yang berlaku bagi umat Hindu di Bali.
- Status atau kedudukan hukum seseorang di dalam keluarga sangat penting artinya dalam hukum adat Bali
- Karena akan mempengaruhi hak (swadikara) dan kewajiban (swadharma) orang tersebut dalam keluarga dan masyarakat (banjar/desa pakraman).
Pada masa lalu, dalam masyarakat adat di Bali dikenal beberapa bentuk perkawinan. Sebagian dari bentuk-bentuk perkawinan tersebut sudah lama ditinggalkan oleh masyarakat karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman.
Beberapa bentuk - bentuk perkawinan yang diperbolehkan ataupun dilarang disebutkan sebagai berikut :
- Perkawinan Matunggu atau Nunggonin
- Perkawinan Paselang
- Nyeburin atau Nyentana | mempelai laki-laki tinggal di rumah asal mempelai perempuan.
- Perkawinan pada gelahang | sama-sama anak tunggal
- Sang Palas Adung Malih | Perkawinan pasangan yang telah pernah bercerai (sang palas adung malih) dapat dilakukan dengan syarat upacara perkawainan diadakan kembali serta dikenakan sanksi (pamidanda) nikel saking palase, yaitu denda dua kali lipat dari denda perceraian.
- Larangan atau beberapa perkawinan yang patut dihindari :
- Gamia-Gamana | hubungan darah atau hubungan kekeluargaan yang dekat dan karena mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
- Mekedeng Ngad | bertukar antara saudara perempuan suami dengan saudara laki-laki istri.
- Pasangan yang telah bercerai dua kali.
- Memadu | perkawinan poligami.
- Pasal 9 Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa "sesorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali hal tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini".
- Perkawinan melegandang yang dulu dikenal dan sah dalam hukum adat, kini tidak boleh dilakukan lagi karena bertentangan dengan undang-undang.
Sedangkan hal lain yang berkaitan dengan bentuk - bentuk perkawinan di Bali disebutkan :
- Harta Benda Perkawinan | Modal yang dapat dipergunakan oleh suami istri untuk membeayai kehidupan rumah tangganya ataupun dalam kehidupan sosial dan keagamaannya. Dalam Undang-undang Perkawinan penggolongan harta benda perkawinan meliputi:
- Harta bersama, diperoleh suami istri selama pernikahan.
- Harta Bawaan, yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan.
- Balu | karena suatu hal, seorang istri atau suami ditinggalkan oleh pasangan hidupnya
- Laki-laki (duda) disebut : muani balu.
- Perempuan (janda) disebut : nak luh balu.
Demikian dijelaskan dalam berdasarkan hukum perkawinan bagi Umat Hindu di Bali dan juga disebutkan dalam kitab Manawa Dharmacastra (IX:127),
- Sentana rajeg disebut dengan istilah putrika yang kedudukannya sama dengan anak laki-laki, yaitu sebagai pelanjut keturunan dan ahli waris terhadap harta orang tuanya.
***