Mebanten adalah suatu kewajiban untuk dapat melakukan persembahan yadnya dan sembahyang yang bersumber dari rasa yang tulus.
Dan jadikan persembahyangan ataupun yadnya itu sesuatu yang Satwika dan kalau bisa menurut pada aturan sastra yang benar sesuai tattwa beragama.
Dan sejatinya mebanten disebutkan bukanlah sebuah kompetisi sembahyang/mebanten (ref).
Pada suatu hari saat menjelang hari raya tiba ada dua orang sedang bercakap-cakap tentang pelaksanaan mebanten yang sebagaimana diceritakan sebagai berikut;
Jik kalau di tempatmu orang ke pura atau mebanten setiap ada rerahinan biasanya jam berapa?
Dia langsung bertanya kembali,
Kok males gitu sih? Ditempat saya orang berlomba lomba paling pagi, apalagi mebanten..yang pasti sebelum matahari terbit harus sudah selesai, malu sama tetangga biar tidak dikira malas.
Saya kembali bertanya?
Apakah ada keperluan kamu harus mebanten atau ke pura di pagi harinya sehingga menyebabkan kamu harus melakukan kegiatan itu di pagi buta?
Dia menjawab..nggak sih biar,kesannya gak kalah sama tetangga dan nggak dikira malas saja.
Saya sendiri berpikir,kok lucu ya. Seolah olah sembahyang atau mebanten pun pakai gengsi atau menjadikan itu suatu kompetisi. Saya sih hanya bisa menjawab simple.
Menurut dedauhan, hari di Bali dimulai saat matahari terbit atau bisa dibilang jam 5.30 sampai jam 6 pagi (standarnya sih 5.30).
Jika anggaplah kamu lahir di dini hari Sabtu Kliwon Landep maka otonmu bukan di tumpek landep melainkan di sukra wage landep.
Dengan kata lain kalau tanggal lahir untuk ulang tahun menggunakan sistem waktu 24 jam (jam 00.01 sudah pergantian hari) sedangkan oton juga sama (tetapi pergantian hari dari 05.30 pagi).
Anggaplah contohnya di Tumpek Landep kamu mebanten pagi-pagi buta sebelum matahari terbit, kalau menurut aturan dedauhan itu sudah salah (apalagi reasonnya hanya untuk kompetisi alias malun malunan);
Lain halnya jika memang ada kesibukan dipagi hari sampai malem (apakah ada pekerjaan yang ga bisa ditunda atau misalnya harus ada flight di jam setelah matahari terbit) ini termasuk pengecualian karena diatas dedauhan ada de ning atau ketulusan hati.
Budaya kita bukanlah budaya yang kolot atau harus nurut aturan yang tak bisa diganggu gugat. Kalau memang bisa dituruti ya itu sangat bagus, kalau memang susah banget,ya kembali kepada diri sendiri atau ketulusan hati kita kapan waktu yang tersedia untuk melakukannya.
Sembahyang atau Yadnya itu bersumber dari rasa yang tulus. Bukan karena ada gengsi (ngga mau kalah, biar keren atau biar keliatan rajin atau bagus di linimasa sosmed) yang kita sebut Rajasika Yadnya ataupun berprinsip yang penting sudah dilakukan aja yang bisa disebut Tamasika Yadnya.
Jadikan persembahyangan ataupun yadnya itu sesuatu yang Satwika dan kalau bisa menurut pada aturan sastra yang benar (bukan tafsir asal asalan yang buruk atau jauh melenceng dari tattwa)
***