Namun berem dari air tape,
- Jika dinikmati, manisnya hanya beberapa saat;
- Jika kebanyakan akan bisa memabukkan pula;
- Jika disimpan semakin lama semakin kecut".
Demikianlah pula dalam memaknai hidup ini.
Diceritakan pada minggu sore, seorang ayah dengan dua putri dan satu putra itu sedang terlihat duduk santai di bale gedenya sambil mendendangkan pupuh ginada.
Memang ia juga dikenal sebagai sosok seniman geguritan/ kekawin yang bersuara merdu.Tangannya terlihat sibuk melipat daun nangka yang sebelumnya diisi dengan beberapa butir nasi yang dicampur ragi. Ya. Kaler sedang membuat salah satu sarana pelengkap bebantenan yang dalam bahasa lokal disebut dengan tape.
Selain membuat tape, kakek enam cucu ini juga rutin membuat pelas dan bantal. Rata-rata bahan yang digunakannya ia petik dari tegalannya. Seperti selepahan (daun kelapa yang sudah hijau), daun nangka dan daun rambutan sebagai kulitnya. Sementara isinya berupa campuran nasi dan ragi untuk tape dan saur (serondeng) untuk membuat bantal dan pelas.
“Ah, ini hanya pekerjaan sambilan untuk mengisi waktu luang,” ungkapnya.
Tape, bantal dan pelas menurutnya salah satu sarana penting untuk membuat upakara.Kaler yang pensiunan PNS dan kini juga bertani mengaku membuat tape, bantal dan pelas ini sebuah hiburan karena ia dapat berkumpul dengan anak cucunya yang sedang libur karena kondisi dari akibat wabah corona.
Mengenai hasil, Kaler mengaku tidak banyak, tetapi cukup untuk menambah uang dapur.Demikianlah diberitakan Bali Puspa News, meski corona mewabah, “merta” di Bali “mesambeh” sebagai kreatifitas orang-orang Bali dalam kebersamaan keluarga.
***