Tanah adalah unsur padat sebagai bagian dari panca maha bhuta yang disebut dengan pertiwi sebagai zat dasar yang membentuk lapisan bhuwana agung, alam semesta dan mahluk hidup termasuk manusia itu sendiri.
Bagi orang Bali,
Tanah juga merupakan simbolik kesabaran seperti halnya kenapa tanah disebut dengan ibu pertiwi ?
Karena dalam tanah, ibu dan jejak peradaban sebagaimana dijelaskan Fajar Bali disebutkan bahwa :
- Seorang ibu yang hatinya senantiasa sabar selalu disepadankan dengan kesabaran tanah. Maka simbol kesabaran yang paling tinggi bagi manusia Bali adalah mereka yang bisa menyamai kesabaran tanah.
- Pertiwi atau dewi tanah dalam kondisi apapun ia tetap seorang penyabar. Dibereki, dikencingi, ditanami pancang beton, dibor dilindas berjuta-juta kendaraan dia selalu sabar.
Selain menjadi simbol kesabaran paling absolut, tanah juga menunjukkan muasal hidup. Orang Bali sering menyebut tanah muasal itu sebagai tanah leluhur, tanah palekadan, tanah tua, dan tanah wayah.
Semua sebutan ini mengacu pada pengertian dasar, menelentangkan makna filosofi, bahwa semua berasal dari tanah dan kembali ke tanah.
Dimana;
- Tanah palekadan merujuk sebuah arti muasal manusia dilahirkan. Tempat ia bertumbuh, berkembang, dan menyempurna dalam rawatan tanah leluhur atau tanah para tetua.
- Tanah wayah menyiratkan makna titik perhentian, kubur jazad, di mana dalam satu momen kematian, manusia mesti berpulang ke tanah, dibakar api bumi.
Mungkin persepsi inilah yang melahirkan kesadaran ber-tanah air—kesadaran yang dibangun dari ruang dasar pengertian, bahwa di dalam tanah air terekam sejarah dan peradaban leluhur.
Inilah kemudian kenapa natah dan tanah Bali juga menjadi tanah air bagi manusia Bali, karena di situ, selain terekam silsilah hidup manusia Bali, juga terekam jejak peradabannya, sekaligus jejak kebudayaannya. Karena di situ tali jiwanya terkait Bumi Semesta Ibu.
Bentuk-bentuk penghormatan pada tanah bisa dilihat saat orang Bali mempersembahkan banten saiban yang dilakukan saban hari usai memasak sampai upacara terbesar Eka Dasa Rudra yang dilakukan setiap seratus tahun—di mana pada prinsipnya memiliki tujuan mengharmoniskan unsur-unsur yang membangun alam semesta ini.
Begitulah upacara ini senantiasa digelar secara berlapis sesuai momen waktu yang tepat—mulai dari ngaturang banten saiban tiap hari, saban Kajeng Kliwon, Tawur Kasanga menjelang Nyepi, Panca Bali Krama tiap sepuluh tahun, Eka Dasa Rudra tiap seratus tahun, dan angrebu bumi saban seribu tahun. Inilah ritus merawat tanah ala Bali.
Pemulian pada tanah bisa dirujuk pada sejumlah teks yang pada prinsipnya memberi penjelasan bagaimana tanah itu mesti dirawat. seperti halnya :
Lontar Roga Sangara Bumi, Bhama Kertih, Purwaka Bumi Kamulan, Puja Daa, Lontar Wiksu Pungu dll yang telah menelentangkan begitu benderang, bahwa tanah atau bumi ini mesti dirawat dan disucikan senantiasa.Dan sebagai renungan :
Dimana manusia, sarwa prani, dan alam sekala - niskala dimuliakan dan saling mengasihi, maka di sanalah disebut “Tanah Suci”, maka seyogyanya disebutkan bahwa setiap umat manusia agar dapat memelihara lingkungannya.
***