Metraya

I Cangak mati baan lobane
Metraya adalah orang yang pandai berbohong, curang dan suka berolok-olok, serta dengan kepalsuan agar supaya dapat mempengaruhi teman, 
perbuatan tidak baik asubha karma yang merupakan bagian dari Dasa Mala, sifat seseorang yang perlu diruwat atau disucikan.
Berbohong dan melebih-lebihkan sesuatu berkaitan dengan Tri Guna dan Dasa Mala juga disebutkan,
terkadang tanpa disadari seringkali orang melebih-lebihkan sesuatu mungkin dengan tujuan untuk menghidupkan suasana atau agar tampak lebih menarik apa yang sedang diungkapkan, tapi melebih-lebihkan sesuatu juga disebut kebohongan.
Ada sebuah cerita, sang Bangau layaknya menjadi seorang pedanda yang suci bersih dengan ketu di kepalanya.

Berita tentang Sang Pendeta Bangau telah tersebar ke seluruh antero telaga, semua saling membericarakan rasa penasaran dan rasa ingin tahunya dengan nada seolah-olah mereka sudah tahu siapa pendeta bangau itu. 
Semua berbicara tentang kehidupan baru yang akan segera mereka songsong karena kini ada Sang Pendanda yang akan memberi sinar untuk gelapnya kehidupan mereka yang penuh teror dan ketakutan.
Katak Hijau dan ikan-ikan yang sempat menerima ajaran suci sang pendeta menjadi pengkabar, dan bahkan mereka yang tidak tapun mulai bergosip seolah mereka lah yang paling tahu siapa pendeta suci yang mengunjungi telaga mereka itu.
Suasana telaga benar-benar telah berubah, mereka mendapat gairah dan harapan, dan itu membuat kehidupan di telaga berjalan dengan nuansa yang sangat berbeda.
Hari itu, ikan-ikan yang sedang asik bercengkrama dan beraktifitas seperti biasa tiba-tiba tercengang. 
Mereka melihat sosok di kejauhan berlari mendekati telaga, tidak jelas siapa, tapi dari bayangan sepintasnya, itu adalah seekor bangau.
Tidak lagi berpikir panjang, didorong naluri untuk bertahan hidup, mereka kocar kacir berlari menyelamatkan diri.
Untunglah, sang katak hijau mengenalinya, mengenali idolanya. Sang Pendeta.
“Tenang, tenang” Teriak katak itu, “Itu adalah Ratu Pedanda”
Kali ini Bangau Pendeta itu datang tergopoh-gopoh, tidak seperti awal kedatangannya.
“Berkumpulah di sini anak-anakku” Katanya dengan nafas tersengal-sengal ”Aku punya berita buruk untuk kalian”
Setelah beberapa saat, dibantu sang katak hijau, kemudian penghuni telaga itu berkumpul di hadapan sang pendeta, terheran-heran karena pasti ada hal yang sangat penting.
“Ini adalah kabar buruk” Sang Pendeta mulai berkata, “Bahkan untuk menyampaikannya pada kalian pun hatiku sudah sakit”
Suara bergemuruh mulai terdengar, satu dengan yang lain mulai saling bertanya ada apa gerangan.
“Petani desa pemilik ladang ini,” Kata sang pendeta dengan suara gemetaran setengah sedih setengah marah, “Akan mengeringkan telaga kalian dan merubahnya menjadi sawah!”
Kekagetan dan kompak terdengar.

Telaga tempat mereka hidup dari satu generasi ke generasi akan dikeringkan, “Kita akan hidup dimana?” Kata seekor ikan.
“Tanpa telaga kita semua akan mati” Seekor kepiting menimpali.
“Tenang… tenang… biarkan beliau melanjutkan dulu” Perintah si katak hijau.
“Hari ini juga” Kata sang bangau, “persiapkan diri kalian.
“Aku akan mengungsikan kalian pergi.
“Di balik bukit itu, di dekat pertapaanku ada sebuah telaga yang jernih dan luas, aku akan membawa kalian ke sana”
Kembali kerumunan ikan-ikan itu berbisik satu dengan yang lain.
“Dan yang lebih penting” Lanjut sang pendeta, “Tidak pernah ada bangau yang datang ke sana.
“Inilah saatnya kalian menyongsong kehidupan baru”
“Tapi tentu saja kalian bebas memilih” lanjut sang pendeta lagi, “bergegas pergi atau diamlah di sini dan tunggu kematian menjemput kalian”
Mereka ragu. Mereka takut. Tapi mereka tidak punya pilihan.
“Tunggu apa lagi?” Kata si katak hijau, “Bergegaslah!”
Sekelompok ikan ditaruh diantara paruh sang pendeta bangau, lalu diterbangkannya dari telaga itu, beberapa ditempatkannya di mulut agar lebih banyak yang terangkut.

Tidak sedikit jumlah ikan di telaga itu, jadi tidak cukup sehari waktu yang dibutuhkan untuk mengangkut mereka.
“Kamu pergilah dulu” Kata seekor ibu ikan pada anaknya, karena sudah penuh daya angkut sang pendeta. Si anakpun dicengkeram dan dilarikan dengan tangisan karena berpisah dari ibunya.
Ikan yang masih tersisa menunggu dengan ketegangan. Petani desa itu bisa datang kapan saja, dan mereka bisa mati kapan saja, sementara hanya sang bangau yang bisa mereka harapkan untuk menyelamatkan jiwanya.
Si katak hijau, yang paling penakut diantara mereka, pergi paling awal, mengambil tempat di paruh bangau.
Mereka memang ketakutan, namun mereka juga senang, sebab telah dikirimkan pada mereka sosok penyelamat.
Hari ketiga, telaga itu sudah benar-benar sepi. Semua ikan dan penghuni telaga telah pergi dari sana, meninggalkan telaga yang menjadi rumah bagi begitu banyak keluarga penghuninya.
Kini tinggallah seekor kepiting.

Kepiting itu yang dari awal membantu ikan-ikan untuk naik ke paruh bangau, menyelamatkan ikan-ikan iku terlebih dahulu. 
Dari penampakannya memang kelihatan kepiting itu baik budi, cerdas dan pemberani.
Dia rela pergi paling belakang demi menolong ikan-ikan yang disiksa ketakutan. Bukan karena dia tidak puya rasa takut, tapi karena dia tidak membiarkan dirinya ditindas ketakutan.
Baginya, bukan bangau pemangsa atau petani desa yang menindas kehidupan mereka, tapi ketakutannya sendiri.

Toh, baginya, kematian adalah kepastian, 
jadi tidak dibiarkannya jiwa yang menjadi gairah kehidupannya mati terlalu dini karena rasa takut akan kematian itu sendiri.
“Mari, bergegaslah anakku” Sapa sang pendeta dengan wajah ramah seperti biasa setelah turun dari udara.
“Terimakasih, Ratu Pedanda” Kata kepiting, kemudian mendekat.
Betapa senangnya kepiting yang sedang terbang bersama pendeta bangau itu.
Kepiting terbang di atas bangau. Itu membuatnya tertawa dan bersyukur.
Dia menikmati hembusan angin yang bergulung-gulung dan menampar lembut kulitnya, pemandangan udara yang bisa ditangkap oleh matanya. Dia memang selalu tahu cara menikmati kehidupan.

Tapi….
Keceriaan wajahnya itu berubah saat ia mencapai daerah belakang bukit yang dijanjikan. Saat sang pendeta yang mempesona itu mulai turun dan merendahkan terbangnya.
Pemandangan yang dilihatnya benar-benar menyayat hati.
Tulang-tulang ikan. Kodok yang mati. Bangkai saudara-saudara setelaganya berserakan. Dia hampir tidak mempercayai matanya sendiri atas pemandangan yang disaksikannya itu.
Dia tahu tempat bangkai berserakan itu adalah kediaman sang pedanda. Dilihatnya tongkat sang pendeta dan beberapa genitrinya bergantungan di sana, diantara mayat-mayat ikan yang dibantunya naik ke paruh bangau itu.
“Kau…” Katanya dengan suara gemetaran, “Memakan mereka semua?”
Tersenyum licik, pendeta itu menjawab, “Kalian memang baru sadar setelah di ketinggian ini, kalian semua. Sadar saatnya sudah terlambat”
“Jadi, benar-benar kaulah yang membunuh mereka?” Kata si kepiting lagi berharap bukan pendeta yang telah dinobatkan sebagai juru selamat telagalah yang tega melakukan itu.
“Bukan anakku,”Sahut bangau itu dengan senyuman, “Bukan aku yang membunuh mereka, tapi diri mereka sendiri.
Ketakutan dan haparan merekalah yang membunuh mereka”

Seketika itu, kesedihan sang kepiting berubah menjadi amarah. Amarah yang tak terhingga.
Krekkkkk!!! Dijepitnya leher bangau itu, sampai berteriak kesakitan, lalu mati.
Demikianlah seseorang yang suka berbohong dan punya sifat loba yang berlebihan diceritakan dalam satua bali Sang Pedanda Baka, sebuah cerita tentang kepalsuan, yang akhirnya terkena karma phalanya juga.
***